REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menemukan semakin masifnya peredaran barang palsu di berbagai lini perdagangan di Indonesia. Produk-produk ini dijual secara terbuka, baik secara daring maupun luring, dari e-commerce hingga kios pinggir jalan.
Padahal peredaran barang palsu tersebut melanggar sejumlah aturan dalam Undang-Undang (UU) terkait Kekayaan Intelektual (KI), seperti UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, serta UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ancaman sanksi terhadap pelaku bervariasi, mulai dari denda hingga pidana penjara maksimal 10 tahun, terutama jika barang tersebut membahayakan kesehatan atau lingkungan.
Direktur Penegakan Hukum DJKI Arie Ardian menegaskan peredaran barang palsu merupakan pelanggaran serius yang merusak ekosistem perdagangan dan mencederai hak pelaku usaha sah.
"Maraknya barang palsu di pasaran tidak hanya bertentangan dengan hukum, tetapi juga merusak reputasi dan pasar pelaku usaha yang telah berinvestasi secara legal. Ini adalah ancaman nyata bagi industri kreatif dan perekonomian nasional,” ujar Arie dalam keterangannya pada Kamis (24/7/2025).
Arie menyebut tingginya permintaan atas barang palsu didorong oleh harga murah dan kemudahan akses distribusi, terutama di ranah digital. Berdasarkan laporan INTA (International Trademark Association) di tahun 2018, 73% Gen Z di Indonesia mengaku lebih mudah menemukan produk palsu dibandingkan produk asli, dan 87% pernah membeli barang tiruan.
"Rendahnya kesadaran hukum dan anggapan bahwa membeli barang palsu bukan tindakan ilegal turut memperparah kondisi ini," ujar Arie.
Arie mengakui tantangan dalam menindak peredaran barang palsu tidak sedikit. Selain delik aduan yang mengharuskan laporan dari pemilik merek, proses pelacakan pelaku online sangat sulit karena identitas anonim. Apalagi masih banyak pemilik merek yang belum mendaftarkan KI-nya di Indonesia.
"Ini membuat upaya penegakan hukum menjadi terbatas," ucap Arie.
Sebagai upaya represif, DJKI telah melakukan pemusnahan berbagai barang bukti hasil pelanggaran KI senilai lebih dari Rp 5 miliar. Ini termasuk produk tiruan dari merek terkenal. Pemusnahan ini dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
Langkah preventif juga dilakukan melalui program Sertifikasi Pusat Perbelanjaan Berbasis KI, yang sejak 2022 telah menjangkau lebih dari 100 pusat perbelanjaan di seluruh Indonesia. Program ini mendorong mal-mal untuk tidak memperdagangkan barang palsu dan memberikan insentif reputasi bagi pelaku usaha yang patuh hukum.
Meski regulasi telah dinilai memadai, DJKI menilai penindakan hukum akan optimal jika disertai peningkatan kesadaran masyarakat, kolaborasi antar lembaga, serta penguatan teknologi pengawasan.
“Kami mendorong masyarakat untuk selalu waspada terhadap produk palsu, memeriksa keaslian produk, dan membeli di gerai resmi. Pelindungan KI adalah tanggung jawab bersama,” kata Arie.
DJKI juga mengajak pemilik merek untuk aktif mendaftarkan KI-nya dan melaporkan setiap pelanggaran.
"Agar negara dapat hadir memberikan pelindungan hukum yang tegas dan efektif," ucap Arie.