Sabtu 26 Jul 2025 18:02 WIB

DJKI Ungkap Kendala Hapus Peredaran Barang Palsu di Indonesia

Peredaran barang palsu tersebut melanggar sejumlah aturan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erdy Nasrul
Barang bukti berupa paspor milik Warga Negara Asing (WNA) yang diduga memiliki uang dolar palsu diperlihatkan saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (27/5/2025). Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Non TPI Jakarta Barat berhasil mengamankan tiga orang WNA yang diduga terlibat dalam kepemilikan dan penyimpanan uang palsu. Ketiga pelaku tersebut terdiri dari dua WNA asal Kamerun berinisial TFN dan FJN, serta satu WNA pemegang paspor Kanada berinisial BDD. Dalam penangkapan tersebut, TFN dan FJN diketahui memiliki uang palsu sebesar 1.600 dolar AS, sementara BDD diduga menyimpan uang palsu senilai 900 dolar AS.
Foto: Republika/Prayogi
Barang bukti berupa paspor milik Warga Negara Asing (WNA) yang diduga memiliki uang dolar palsu diperlihatkan saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (27/5/2025). Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Non TPI Jakarta Barat berhasil mengamankan tiga orang WNA yang diduga terlibat dalam kepemilikan dan penyimpanan uang palsu. Ketiga pelaku tersebut terdiri dari dua WNA asal Kamerun berinisial TFN dan FJN, serta satu WNA pemegang paspor Kanada berinisial BDD. Dalam penangkapan tersebut, TFN dan FJN diketahui memiliki uang palsu sebesar 1.600 dolar AS, sementara BDD diduga menyimpan uang palsu senilai 900 dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menemukan semakin masifnya peredaran barang palsu di berbagai lini perdagangan di Indonesia. Produk-produk ini dijual secara terbuka, baik secara daring maupun luring, dari e-commerce hingga kios pinggir jalan.

Padahal peredaran barang palsu tersebut melanggar sejumlah aturan dalam Undang-Undang (UU) terkait Kekayaan Intelektual (KI), seperti UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, serta UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ancaman sanksi terhadap pelaku bervariasi, mulai dari denda hingga pidana penjara maksimal 10 tahun, terutama jika barang tersebut membahayakan kesehatan atau lingkungan.

Baca Juga

Direktur Penegakan Hukum DJKI Arie Ardian menegaskan peredaran barang palsu merupakan pelanggaran serius yang merusak ekosistem perdagangan dan mencederai hak pelaku usaha sah.

"Maraknya barang palsu di pasaran tidak hanya bertentangan dengan hukum, tetapi juga merusak reputasi dan pasar pelaku usaha yang telah berinvestasi secara legal. Ini adalah ancaman nyata bagi industri kreatif dan perekonomian nasional,” ujar Arie dalam keterangannya pada Kamis (24/7/2025).

Arie menyebut tingginya permintaan atas barang palsu didorong oleh harga murah dan kemudahan akses distribusi, terutama di ranah digital. Berdasarkan laporan INTA (International Trademark Association) di tahun 2018, 73% Gen Z di Indonesia mengaku lebih mudah menemukan produk palsu dibandingkan produk asli, dan 87% pernah membeli barang tiruan.

"Rendahnya kesadaran hukum dan anggapan bahwa membeli barang palsu bukan tindakan ilegal turut memperparah kondisi ini," ujar Arie.

Arie mengakui tantangan dalam menindak peredaran barang palsu tidak sedikit. Selain delik aduan yang mengharuskan laporan dari pemilik merek, proses pelacakan pelaku online sangat sulit karena identitas anonim. Apalagi masih banyak pemilik merek yang belum mendaftarkan KI-nya di Indonesia.

"Ini membuat upaya penegakan hukum menjadi terbatas," ucap Arie.

Sebagai upaya represif, DJKI telah melakukan pemusnahan berbagai barang bukti hasil pelanggaran KI senilai lebih dari Rp 5 miliar. Ini termasuk produk tiruan dari merek terkenal. Pemusnahan ini dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.

Langkah preventif juga dilakukan melalui program Sertifikasi Pusat Perbelanjaan Berbasis KI, yang sejak 2022 telah menjangkau lebih dari 100 pusat perbelanjaan di seluruh Indonesia. Program ini mendorong mal-mal untuk tidak memperdagangkan barang palsu dan memberikan insentif reputasi bagi pelaku usaha yang patuh hukum.

Meski regulasi telah dinilai memadai, DJKI menilai penindakan hukum akan optimal jika disertai peningkatan kesadaran masyarakat, kolaborasi antar lembaga, serta penguatan teknologi pengawasan.

“Kami mendorong masyarakat untuk selalu waspada terhadap produk palsu, memeriksa keaslian produk, dan membeli di gerai resmi. Pelindungan KI adalah tanggung jawab bersama,” kata Arie.

DJKI juga mengajak pemilik merek untuk aktif mendaftarkan KI-nya dan melaporkan setiap pelanggaran.

"Agar negara dapat hadir memberikan pelindungan hukum yang tegas dan efektif," ucap Arie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement