REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mabes Polri meningkatkan status hukum pengungkapan kasus beras premium dan medium oplosan ke level penyidikan, Kamis (24/7/2025). Kasus beras oplosan tersebut kini dalam penanganan Satgas Pangan Mabes Polri di bawah kendali Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri. Kepolisian belum menetapkan tersangka dalam kasus itu.
Dirtipideksus Brigjen Helfi Assegaf meyakinkan, jajarannya bakal memidanakan perorangan maupun korporasi. "Untuk masalah tersangka, nanti tersangka bisa perorangan, dan bisa korporasinya. Karena otomatis perusahaannya yang menikmati. Pelakunya (perorangan) pihak-pihak yang ditunjuk melakukan ini," ujar Helfi di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (24/7/2025).
Helfi menerangkan, dalam kasus beras premium dan medium oplosan, tim penyidikannya mengacu pada penjeratan Pasal 62 juncto Pasal 8 ayat (1) huruf a dan f Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, penyidik menjerat menggunakan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Selain menggunakan Undang-undang Perlindungan Konsumen, kita juga menerapkan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena itu untuk mentrasing (melacak) berapa lama dia melakukan (pengoplosan), dan berapa banyak keuntungan yang dia peroleh," ujar Helfi.
Dari laporan hasil inspeksi Kementerian Pertanian (Kementan), kata Helfi, temuan beras premium dan medium oplosan merugikan konsumen senilai Rp 99,35 triliun per tahun. Angka itu terdiri kerugian dalam pengoplosan beras premium senilai Rp 34,21 triliun dan Rp 65,14 triliun yang merupakan kerugian masyarakat terkait dengan pengoplosan beras klaster medium.
Temuan sementara
Helfi mengungkapkan, sebelum meningkatkan ke penyidikan, Satgas Pangan Polri menemukan modus tunggal pengoplosan beras premium dan medium. Praktik pengoplosan dilakukan para pengusaha dan korporasi produk beras pasaran yang melakukan manipulasi takaran, dan tak memenuhi standar maupun mutu sesuai label beras premium dan medium.
"Pelaku usaha melakukan produksi terhadap beras premium dengan merek yang tidak sesuai standar mutu yang tertera pada label kemasan sebagai beras premium ataupun medium," kata Helfi. Menurut dia, penyidik menemukan modus tersebut di tiga produsen yang memproduksi lima merek beras premium dan medium.