REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ns. Femi Kesumawati, staf Prodi Keperawatan Universitas Bina Sarana Informatika
Dalam senyap dan sering kali dalam diam yang menyakitkan, banyak keluarga di Indonesia memanggul beban ganda, merawat anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa sekaligus menghadapi sorotan tajam dari masyarakat. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) tak hanya berjuang melawan penyakitnya, mereka juga melawan stigma sosial yang masih begitu kental. Ironisnya, stigma itu meluas, menyerang keluarga yang seharusnya menjadi sistem pendukung paling kuat dalam proses penyembuhan.
Stigma terhadap ODGJ bukan sekadar persepsi ia hadir sebagai beban sosial yang membentuk realitas pahit bagi banyak keluarga. Mereka dianggap membawa “malu”, menjadi sasaran bisik-bisik tetangga, bahkan mengalami pengucilan dari komunitas yang dulu dekat. Dalam banyak kasus, keluarga bukan hanya kehilangan akses terhadap kehidupan sosial yang sehat, tetapi juga kehilangan hak untuk bersuara, berdiskusi, dan menerima empati.
Dampaknya Sangat Kompleks
Dari sisi psikologis, keluarga kerap mengalami rasa malu, stres berkepanjangan, hingga kelelahan emosional yang tak terungkapkan. Tidak sedikit yang menyalahkan diri sendiri atas kondisi anggota keluarganya, seolah penyakit jiwa adalah hasil dari kegagalan moral atau keluarga. Padahal, gangguan jiwa adalah kondisi medis yang bisa diderita siapa saja tanpa pandang status, latar belakang, atau pendidikan.
Dari aspek sosial, stigma menjelma menjadi tembok tinggi yang membatasi interaksi. Keluarga bisa dijauhi, menjadi objek gosip, bahkan anak-anak dalam keluarga itu menghadapi penolakan ketika melamar pekerjaan atau ingin menikah, karena dianggap “punya riwayat gangguan jiwa dalam garis keturunan.”
Lebih menyedihkan lagi, stigma ini justru menjadi penghalang utama dalam proses penyembuhan. Karena takut dianggap aib, banyak keluarga menunda membawa ODGJ ke fasilitas kesehatan, atau memilih menyembunyikan mereka di dalam rumah. Akibatnya, kondisi pasien memburuk, berujung pada kekambuhan yang seharusnya bisa dicegah.
Lantas, sampai kapan masyarakat terus melukai dengan stigma? Sudah saatnya kita sebagai bangsa membuka ruang diskusi yang sehat tentang kesehatan mental, tidak lagi menjadikan gangguan jiwa sebagai lelucon atau aib. Edukasi publik yang masif, kampanye anti-stigma melalui media, serta dukungan konkret dari pemerintah dan komunitas adalah langkah nyata yang harus segera diambil.
Mengubah cara pandang masyarakat terhadap ODGJ dan keluarganya bukan pekerjaan semalam. Namun, setiap langkah kecil menuju empati adalah awal dari perubahan besar. Mari tidak lagi menjadi bagian dari luka mereka. Sebaliknya, jadilah bagian dari pemulihannya.