REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) mulai memberlakukan kebijakan menambah jumlah siswa di satu kelas jenjang SMA/SMK menjadi 50 orang pada tahun ajaran 2025-2026. Kebijakan itu diberlakukan sebagai bagian dari program pencegahan anak putus sekolah (PAPS) dalam seleksi penerimaan murid baru (SPMB) Jabar.
Republika mencoba mendatangi salah satu sekolah negeri di Depok untuk melihat langsung pelaksanaan kebijakan yang diinisiasi oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi itu. Namun, saat ini proses kegiatan belajar mengajar (KBM) untuk siswa yang baru masuk belum berjalan efektif, mengingat para siswa kelas X masih melaksanakan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).
Hubungan Masyarakat (Humas) SMAN 6 Depok, Syahri Ramadhan, menilai program PAPS itu memiliki tujuan yang baik, yaitu agar tidak ada anak yang putus sekolah. Karena adanya program itu, kuota SPMB di SMAN 6 Depok ikut mengalami penambahan dari semula 324 menjadi 450 siswa untuk sembilan rombongan belajar (rombel) atau kelas.
"Kami di SMA Negeri 6 Depok itu juga telah melaksanakan PAPS ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang sudah disampaikan melalui Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat," kata dia kepada Republika, Rabu (16/7/2025).
Menurut dia, sesuai juklak yang ada, para siswa yang diterima melalui program PAPS itu adalah residu dari para pendaftar SPMB yang memang belum diterima pada SPMB tahap 1 maupun tahap 2. Namun, pihaknya tetap mengutamakan siswa yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu.
"Kami utamakan warga-warga terdekat dari sekolah dan juga yang tidak mampu. Jadi dua itu ya beririsan antara warga yang terdekat dari sekolah sekaligus juga warga yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu," kata dia.
Syahri mengakui, ada sejumlah calon siswa dari keluarga tidak mampu yang tidak diterima di SMAN 6 Depok lantaran domisilinya berada cukup jauh dari sekolah. Para calon siswa itu kemudian disarankan untuk mengikuti program PAPS ke sekolah negeri yang lebih dekat dari rumahnya.
Ia menilai, apabila calon siswa itu dipaksakan diterima di SMAN 6 Depok, hal itu justru akan menimbulkan masalah baru. Pasalnya, siswa itu nantinya akan kesulitan masalah jarak yang jauh dari sekolah.
"Karena kalau ke SMA 6 malah kasian, akan menimbulkan permasalahan baru. Transportasinya ya kan, ongkosnya dia harus menuju ke sekolah pulang pergi, itu akan membebani lagi, menjadi masalah baru," kata dia.
Sebaliknya, ada sejumlah siswa yang diterima melalui program PAPS yang berasal dari keluarga mampu. Alasannya adalah karena siswa itu tinggal di dekat sekolah.
Menurut Syahri, hal itu diperbolehkan dalam juklak. Pasalnya, program PAPS juga dilakukan untuk bina lingkungan sosial budaya. Artinya, mereka yang tinggal di dekat sekolah tetap menjadi prioritas untuk diterima melalui program PAPS.
"Kan enggak mungkin dia rumahnya di depan sekolah, terus dia enggak masuk sekolah sini. Jadi ada juga fungsinya PAPS ini sebagai bina lingkungan," kata dia.
Meski begitu, ia memastikan, tidak ada istilah "titipan" dalam pelaksanaan SPMB di SMAN 6 Depok, termasuk melalui program PAPS. Pasalnya, ia langsung mengikuti proses SPMB yang dilakukan di sekolahnya.
"Insyaallah untuk di SMA 6 Depok 100 persen tidak ada (siswa titipan), karena kebetulan saya ikut bertanggung jawab di dalam rekrutmen PAPS," ujar Syahri.
Meski begitu, program yang relatif mendadak diberlakukan itu dinilai sempat membuat sejumlah orang tua rugi. Pasalnya, ada sejumlah orang tua siswa yang semula tidak diterima di SMAN 6 Depok telah mendaftar dan membayar uang pangkal untuk masuk ke sekolah swasta. Namun, belakangan yang bersangkutan dikabarkan diterima melalui program PAPS.