Rabu 23 Jul 2025 13:41 WIB

SMAN 10 Depok Terapkan Maksimal 46 Siswa Per Kelas, Wakepsek: Ada Beberapa Orang Tua Mundur

Pihak SMAN 10 Depok berharap program PAPS dapat diperbaiki agar lebih tepat sasaran.

Rep: Mg160/ Red: Andri Saubani
SMAN 10 Depok, Jawa Barat.
Foto: Republika/mg160
SMAN 10 Depok, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- SMAN 10 Depok hanya menampung 46 siswa per kelas dari target 50 sesuai kebijakan program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) yang diatur dalam surat edaran Gubernur Jawa Barat. Penurunan jumlah tersebut terjadi karena sejumlah orang tua memilih menarik anaknya sebelum tahun ajaran dimulai.

“Di SMA 10 Depok semuanya jumlahnya itu ada 46 murid baru per kelas. Di awalnya, sesuai dengan kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat itu kita tetap mengajukan 50 per kelas, tapi ketika kita melakukan pendataan, kemudian semua orang yang terjaring dari program PAPS, di sekolah kami untuk program PAPS hanya ada dua, yang pertama dari KETM, yang kedua dari domisili terdekat,” jelas Erwan, Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan saat ditemui Republika pada Selasa (23/7/25).

Baca Juga

Erwan menerangkan, program PAPS ini sebetulnya ada empat kategori. Pertama, Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM), kedua, anak panti asuhan, ketiga, domisili terdekat, dan yang keempat korban bencana. Namun, pendaftar yang masuk ke SMAN 10 Depok hanyalah kategori KETM dan domisili terdekat.

Erwan menyebut total siswa baru yang sempat masuk dalam data awal mencapai 120-an. Namun, saat proses daftar ulang berlangsung, beberapa orang tua memilih mundur.

“Ada beberapa orang tua itu mundur dari program PAPS, kebanyakan mundur itu karena dia keterima di sekolah lain,” jelasnya.

photo
Wakil Kepala Sekolah SMAN 10 Depok, Erwan. - (Republika/mg160)

Selain itu, alasan lain yang diterangkan Erwan adalah harapan orang tua kepada anaknya agar mendapatkan perhatian oleh guru karena 50 siswa per kelas dinilai tidak akan cukup mendapatkan perhatian dari guru.

Jumlah siswa yang banyak juga menimbulkan tantangan tersendiri dalam proses belajar mengajar.

“Kesulitannya adalah mengenali anak-anak, ini 46, dua kali ketemu ini belum hafal, mungkin harapannya mungkin setahun nanti hafal ya 46 anak,” kata Erwan.

Menurutnya, memanggil siswa dengan nama (kalau sudah hafal), siswa akan jauh lebih tersentuh karena merasa diingat oleh gurunya. Kondisi ruang kelas juga harus disesuaikan. Pihak sekolah harus membeli mebel baru agar jarak antar bangku lebih longgar.

“Awalnya, kita untuk meja dan kursinya menggunakan produksi lama dari dana BOS yang dari tahun 2024 ke belakang, kalau pakai mebel yang lama itu dia kursinya sampai ke depan. Jadi paling sampai ke depan meja guru persis ada anak, atau anak itu berhadapan dengan papan tulis, paling jaraknya cuma 60 cm. Tapi kemudian karena kebetulan kita memang sedang ada pengadaan mebel, kita melakukan pembelian mebel yang baru dengan desain yang baru. Sehingga sekarang kalau di kelas, dia paling dari papan ada jarak sekitar 2 meter,” kata Erwan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement