REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- SMAN 12 Kota Bekasi menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengenai peningkatan kapasitas siswa dalam satu kelas menjadi maksimal 50 orang sebagai bagian dari Program Anti Putus Sekolah (PAPS). Seluruh kegiatan belajar mengajar dengan kondisi ini masih dalam proses pantauan karena pekan ini merupakan pekan pertama mulai efektif pembelajaran
“Kami salah satu sekolah di Jawa Barat yang sangat mendukung program Pak
Gubernur Jawa Barat, yaitu Kang Dedi Mulyadi, mengenai program pencegahan anak putus sekolah, yaitu satu kelas itu maksimal 50 orang,” ujar Humas SMAN 12 Bekasi, Adrianus Dami, saat diwawancarai Republika, Senin (21/7/25).
Namun, jumlah siswa tetap disesuaikan dengan luas ruang kelas. “Itu tergantung kepada besarnya kelas, misalnya ukuran 8x8 atau 8x9 mungkin bisa 50, tapi kalau kelasnya lebih kecil, 48 dan lebih kecil jadi 46, itu tergantung pada besarnya kelas, karena tidak bisa dipaksakan,” kata Adrianus.
Adrianus mengaku bahwa ruang kelas di SMAN 12 Bekasi rata-rata berukuran 7x8 meter, sehingga penambahan siswa hanya sampai 48 orang per kelas. “Kami menerapkan penambahan 12 per kelas, yaitu 36 tambah 12 sama dengan 48 per kelas,” ucapnya.
Meski kebijakan dijalankan sepenuhnya, pihak sekolah tidak menutup mata terhadap tantangan yang muncul di ruang kelas. Adrianus mengakui, jumlah siswa yang besar membuat efektivitas belajar mengajar menjadi berkurang.
“Kalau dibilang efektif, harus jujur ya kurang efektif, karena siswanya terlalu banyak. Tetapi kami sebagai guru dan sebagai pelayanan masyarakat dan sebagai pendidik bangsa, kami maksimal untuk membuat kelas itu bagaimana anak-anak itu nyaman, sehingga program KBM tetap berjalan dengan baik,” jelasnya.
Kesediaan meja dan kursi sejauh ini sudah mencukupi. Namun, Adrianus berharap adanya penambahan AC di setiap ruang kelas karena melihat kondisi yang sekarang.

Ferani, Guru Bahasa Indonesia SMAN 12 Bekasi, menilai rasio guru dan siswa yang terlalu besar menyulitkan pendampingan belajar. “Dengan rasio yang lebih rendah atau lebih kecil itu kan akan lebih membantu pembelajaran. Guru juga akan lebih fokus untuk memperhatikan siswa, membimbing dan membina,” kata Ferani kepada Republika.
Ia mengakui, semakin banyak siswa dalam kelas, perhatian guru pun semakin terbagi. “Memang lebih terasa ngajarnya agak pecah fokus. Karena lebih banyak kepala pasti akan lebih banyak pertanyaan,” katanya. Meskipun begitu, Ferani tetap berupaya agar proses belajar berjalan efisien. “Kalau suasana kelas bisa kondusif, itu sebenarnya masih bisa efisien,” tambahnya.

Di tengah kelas yang kini diisi hingga 48 siswa, sejumlah siswa justru mengaku menikmati suasana yang lebih ramai. Bagi mereka, kebijakan ini membuka ruang pertemanan baru dan pengalaman belajar yang berbeda.
Rasya Ahmad Arrasyid (15), siswa kelas X, menyebut kelasnya kini jauh lebih ramai, tapi bukan berarti tidak nyaman. “Dapat teman baru yang unik-unik malah jadi seru, cuma di balik itu semua kita jadi adaptasi gitu” ujarnya.
