Kamis 26 Jun 2025 16:02 WIB

LSI: RKUHAP Harus Atur Keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan Reformasi Upaya Paksa

RKUHAP bahas pengaturan batas waktu penyelidikan dan penyidikan.

Lembaga Survei Indonesia paparkan hasil survei terkait revisi kitab undang-undang hukum acara pidana (RKUHAP).
Foto: Erdy Nasrul/Republika
Lembaga Survei Indonesia paparkan hasil survei terkait revisi kitab undang-undang hukum acara pidana (RKUHAP).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Desakan untuk menghadirkan reformasi menyeluruh terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengemuka, terutama menyangkut mekanisme upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan.

Salah satu usulan krusial adalah kehadiran hakim pemeriksa pendahuluan sebagai bentuk kontrol yudisial yang dinilai penting untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.

Baca Juga

Gagasan ini mendapat dukungan dari mayoritas responden dalam survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) sepanjang 20 Mei hingga 12 Juni 2025.

Peneliti LSI Yoes C Kenawas mengungkapkan, 61,4 persen responden setuju perlunya penguatan kontrol yudisial melalui lembaga hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) yang bisa menilai keabsahan suatu tindakan upaya paksa sebelum dijalankan.

“Tujuannya adalah untuk menjamin proses hukum tidak melanggar hak asasi manusia,” ujar Yoes dalam pemaparan hasil survei di Jakarta, Kamis (26/6).

Tak hanya itu, 44,6 persen responden menyatakan pentingnya membawa tersangka ke hadapan hakim segera setelah penangkapan, guna menentukan apakah penahanan perlu dilakukan.

Hal ini dinilai sebagai langkah menuju sistem peradilan pidana yang lebih adil, akuntabel, dan menghindari praktik sewenang-wenang.

Survei LSI juga menunjukkan adanya dorongan kuat agar RUU KUHAP memuat prinsip kesetaraan antar penyidik. 70,3 persen responden yang terdiri dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, dan organisasi masyarakat sipil, menyatakan kesetaraan penyidik penting untuk dimasukkan dalam RUU KUHAP.

"Selama ini penyidik non Polri masih berada di bawah pengawasan Polri, padahal secara kompetensi, mereka sudah setara," jelas Yoes.

Alasan utama perlunya kesetaraan ini adalah kesesuaian kompetensi (26,8 persen), disusul keinginan menciptakan sistem check and balances (8,5 persen), dan pembentukan sistem peradilan ideal (8,5 persen).

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement