REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengutuk serangan udara Amerika Serikat (AS) ke Iran. Serangan Washington itu disebut membidik fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan.
OKI mengungkapkan, serangan AS ke Iran merupakan eskalasi berbahaya. Hal itu dipandang mengancam perdamaian dan stabilitas regional.
"Sekretariat Jenderal —mengingat pernyataan 13 Juni 2025, mengutuk dan mencela pelanggaran kedaulatan Republik Islam Iran serta hukum dan konvensi internasional —menyerukan deeskalasi dan pengendalian diri serta beralih ke dialog dan kembali ke negosiasi dan cara-cara damai," kata Sekretariat Jenderal OKI dalam pernyataannya, Ahad (22/6/2025), dikutip Anadolu Agency.
Pada Ahad pagi, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa negaranya telah membombardir tiga fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan. Dalam serangan ke fasilitas nuklir Fordo, AS mengerahkan pesawat pembom siluman B-2. Pesawat tersebut menjatuhkan enam bom penghancur bunker.
Sementara dalam serangan ke fasilitas Natanz dan Isfahan, AS menembakkan puluhan rudal jelajah yang diluncurkan dari kapal selam miliknya. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut gembira keputusan AS menyerang Iran.
Sebelum serangan AS, Israel dan Iran diketahui masih terlibat aksi saling berbalas tembakan rudal. Hal itu dipicu serangan unilateral Israel ke Iran pada 13 Juni 2025. Tel Aviv mengeklaim, serangan udara mereka membidik fasilitas nuklir Iran.
Selama terlibat konfrontasi, serangan Israel ke Iran telah membunuh setidaknya 430 orang dan menyebabkan lebih dari 3.500 lainnya terluka. Sementara serangan Iran ke Israel sudah menewaskan setidaknya 25 orang dan melukai ratusan lainnya.
Terkait serangan militer AS ke fasilitas nuklirnya, Iran sudah sesumbar akan melancarkan balasan. Selain itu, parlemen Iran dilaporkan telah menyetujui penutupan Selat Hormuz.
"Parlemen telah mencapai kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup, namun keputusan akhir mengenai hal ini ada di Dewan Keamanan Nasional Tertinggi," kata Komandan Garda Revolusi Ismail Kowsari, anggota Komisi Keamanan Nasional Parlemen, Ahad.