REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Taufik Nurrohim, S.Psi (Anggota Komisi III DPRD Provinsi Jawa Barat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa)
Longsor tambang Galian C di Gunung Kuda, Cirebon, yang menewaskan 19 orang, bukan hanya tragedi kemanusiaan, tapi juga alarm moral bagi bangsa ini. Dua koperasi pesantren, Kopontren Al-Azhariyah dan Al-Ishlah yang memegang izin usaha pertambangan, terbukti tidak mampu mencegah bencana. Aktivitas tambang terus beroperasi meski telah dua kali dilarang oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat. Ketika izin resmi tidak mampu mencegah kematian, maka kita harus bertanya lebih dalam, ada apa di balik kebijakan tambang untuk pesantren?
Tambang dan Nama Pesantren: Ketika Niat Baik Gagal Menyelamatkan Nyawa
Di balik deretan batu dan lumpur yang longsor di Blok Gunung Kuda, Cirebon, terbaring kenyataan pahit tentang bagaimana niat baik bisa berakhir menjadi bencana. Nama dua pondok pesantren, Al-Azhariyah dan Al-Ishlah, tercantum resmi dalam izin usaha pertambangan (IUP) Galian C. Izin itu sah, dikeluarkan oleh otoritas berwenang, dan disalurkan melalui koperasi pesantren yang setidaknya di atas kertas menjadi pemegang hak operasi tambang.
Namun ketika tanah bergeser dan menelan nyawa, semua argumen legal runtuh oleh satu kenyataan: pesantren bukanlah lembaga yang dilahirkan untuk mengelola tambang. Ia bukan didirikan untuk menambang, membongkar gunung, atau mengangkut material tambang. Pesantren didirikan untuk mendidik, mencetak manusia berilmu dan berakhlak, menjaga peradaban melalui nilai, bukan melalui ekskavator dan ledakan dinamit.
Tragedi di Cirebon memperlihatkan celah fatal dalam kebijakan yang terlalu cepat dijalankan tanpa kesiapan institusional dan pengawasan teknis. Meskipun izin operasi dipegang oleh koperasi pesantren, pengelolaan lapangan sering kali dialihdayakan kepada pihak ketiga yang lebih memahami medan tambang, tetapi tidak memahami etika kelembagaan pesantren. Dalam praktiknya, koperasi menjadi ‘stempel legalitas’, bukan pelaku teknis yang memiliki kontrol penuh atas proses produksi dan keselamatan kerja.
Yang lebih memilukan, aktivitas tambang ini tetap berjalan meski telah dua kali diberi surat larangan oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat. Dengan risiko yang nyata dan peringatan yang sudah disampaikan, tetap tidak ada upaya serius untuk menghentikan kegiatan. Sampai akhirnya tanah longsor, dan para buruh tambang bukan pengurus koperasi, bukan santri, tapi masyarakat sekitar yang mencari nafkah harian menjadi korban utamanya.
Di sinilah ironi itu terkuak: nama pesantren yang selama ini menjadi simbol kedamaian, justru melekat pada proyek yang membawa maut. Nama yang semestinya identik dengan kesalehan dan pengabdian kepada umat, kini tercantum dalam laporan bencana dan investigasi tambang ilegal. Ini bukan sekadar kerugian reputasi. Ini adalah pembalikan total dari wajah pesantren sebagai ruang aman, menjadi simbol dari sistem yang gagal memahami batas-batas moral dalam tata kelola sumber daya.
Niat baik negara untuk memberikan akses ekonomi kepada pesantren melalui izin tambang mungkin lahir dari semangat redistributif. Tapi dalam kenyataan sosial dan ekologis kita, niat baik itu gagal menyelamatkan nyawa, karena tidak dibarengi oleh kerangka etik, kesiapan teknis, dan kontrol yang memadai. Pesantren bukan organisasi bisnis. Apalagi tambang, yang merupakan sektor berisiko tinggi, penuh konflik, dan sering beroperasi di wilayah kelam antara hukum formal dan ekonomi bayangan.
Maka dari itu, tragedi Cirebon harus dibaca bukan sebagai kecelakaan semata, tetapi sebagai peringatan kolektif: jangan tempatkan lembaga agama pada beban yang tidak dirancang untuk mereka pikul. Jangan jadikan pesantren sebagai korban dari kebijakan yang secara moral dan struktural belum siap dijalankan. Karena ketika lembaga suci ikut menambang, maka yang terkubur bukan hanya batu, tetapi juga kepercayaan publik pada nilai yang selama ini mereka bawa.
NU, Muhammadiyah, dan Simpang Jalan Ormas Keagamaan
Wacana pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan bukan hanya soal distribusi sumber daya, tetapi juga ujian ideologis dan konseptual bagi gerakan Islam kultural di Indonesia. Ketika negara menyodorkan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang dipertaruhkan bukan sekadar tata kelola ekonomi umat, melainkan arah moral dan keberpihakan sosial dari institusi keagamaan terbesar di republik ini.
Di sinilah NU dan Muhammadiyah tampak berada di dua persimpangan yang berbeda. Meski keduanya sepakat bahwa umat harus diberdayakan, mereka mengambil jalan berbeda tentang bagaimana dan di mana pemberdayaan itu sebaiknya dilakukan.
NU dan Tantangan dalam Tata Kelola Tambang
Pada tahun. 2024, PBNU secara terbuka menyambut gagasan Menteri Investasi/Kepala BKPM pada waktu itu yaitu Bahlil Lahadalia untuk memberikan tambang kepada ormas. Dalam berbagai pernyataan, termasuk dari Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf, PBNU menyatakan kesiapannya untuk membuktikan bahwa tambang bisa dikelola secara “beradab” bahwa ormas keagamaan tidak hanya mampu memimpin dari sisi spiritual, tetapi juga mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab.
Argumentasi ini berdiri di atas landasan praktis: NU adalah organisasi besar dengan jaringan luas, tetapi secara ekonomi belum memiliki basis kuat yang menopang kemandirian organisasionalnya. Tambang, dalam hal ini, ditawarkan sebagai jalan pintas untuk menciptakan basis ekonomi struktural, sebuah bentuk redistribusi sumber daya strategis yang selama ini hanya dinikmati segelintir elit dan korporasi.
Namun, semangat afirmatif ini menyisakan banyak tanya dari dalam tubuh NU sendiri. Akademisi muda, aktivis lingkungan pesantren, hingga para pengajar di lembaga pendidikan NU mempertanyakan apakah nilai-nilai ke-NU-an yang menjunjung keadilan ekologis, keberpihakan kepada kaum lemah, dan prinsip tawassuth masih terjaga dalam praktik tambang. Apakah pesantren-pesantren siap mengelola risiko teknis dan sosial yang menyertai bisnis pertambangan? Ataukah justru akan menjadi “jubah legitimasi” dari pengusaha tambang yang tak ingin transparan?
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Tragedi longsor di Cirebon menjadi bukti bagaimana koperasi pesantren bisa dengan mudah menjadi stempel formal atas operasi tambang yang secara substantif tidak lagi dalam kendali lembaga keagamaan.
Muhammadiyah dan Jalan Mandiri yang Diuji
Di awal kemunculan wacana pemberian izin tambang kepada organisasi masyarakat keagamaan, Muhammadiyah mengambil posisi yang tegas dan berhati-hati. Melalui Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, disampaikan bahwa sektor pertambangan merupakan wilayah usaha dengan risiko sosial dan ekologis yang tinggi, sehingga dirasa tidak sejalan dengan orientasi dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial yang selama ini menjadi pilar gerakan Muhammadiyah.
Namun belakangan, setelah melalui berbagai pertimbangan dan konsultasi internal, Muhammadiyah memutuskan untuk membuka ruang atas kemungkinan pengelolaan tambang dengan syarat dan batasan yang sangat ketat. Keputusan ini disebut sebagai hasil dari ijtihad kolektif yang mempertimbangkan asas maslahat, hukum fikih muamalah, serta peluang redistribusi ekonomi yang lebih adil.
Meski demikian, pilihan ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Muhammadiyah kini berada di sebuah simpang jalan: antara menjaga tradisi moralnya yang menjauh dari sektor-sektor ekonomi berisiko tinggi, atau mencoba mendefinisikan ulang keterlibatan ormas dalam pengelolaan sumber daya alam strategis. Komitmen Muhammadiyah untuk mengelola tambang secara bertanggung jawab dan berkelanjutan patut diapresiasi, namun publik juga berhak berharap bahwa keputusan ini tidak menggeser posisi Muhammadiyah dari ruang moral ke dalam arena bisnis yang sangat keras dan penuh godaan kuasa.
Kritik Teoritis: Ketika Agama Masuk ke Dalam Logika Tambang
Di balik wacana tambang untuk pesantren, ada persoalan yang jauh lebih mendalam dari sekadar soal ekonomi atau perizinan. Ini soal bagaimana nilai-nilai agama bisa tergelincir saat masuk ke dalam dunia bisnis ekstraktif yang penuh risiko dan logika pasar.
Pertama, mari kita lihat gagasan ekonomi moral dari James C. Scott. Dalam masyarakat tradisional, ekonomi dijalankan bukan sekadar untuk mencari untung, tetapi untuk menjaga kebersamaan dan keberlangsungan hidup komunitas. Pesantren, dalam hal ini, mestinya menjadi pelindung nilai bukan pelaku bisnis tambang.
Kedua, banyak ilmuwan mengingatkan tentang yang disebut kutukan sumber daya (resource curse). Dalam banyak kasus, institusi yang mendapatkan akses ke kekayaan alam justru rentan rusak karena konflik, korupsi, atau lemahnya pengawasan. Tambang adalah sektor padat risiko. Bila pesantren tidak siap secara teknis maupun manajerial, justru akan terjebak dalam masalah besar yang mencoreng nama baik dan membebani sistem internalnya.
Ketiga, ini menyangkut posisi agama itu sendiri. Dalam pandangan sosiolog seperti Zygmunt Bauman dan Talal Asad, ada proses di mana agama perlahan bergeser dari ruang nilai menjadi alat kekuasaan. Ketika pemerintah memberikan tambang kepada pesantren atau ormas, agama tidak lagi berfungsi sebagai suara nurani, tapi malah digunakan untuk membenarkan proyek ekonomi yang bisa jadi merusak masyarakat dan lingkungan.
Kita harus jujur melihat risiko ini. Apa yang terlihat seperti pemberdayaan, bisa jadi adalah bentuk lain dari kooptasi. Bukan menjadikan pesantren kuat, tapi justru menjebaknya dalam sistem ekonomi yang tak sejalan dengan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
Di Antara Dua Jalan: Bisakah Ormas Menemukan Jalan Tengah?
Perdebatan antara NU dan Muhammadiyah membuka ruang refleksi yang lebih luas: apakah ormas keagamaan bisa menemukan bentuk partisipasi ekonomi yang tidak mengorbankan nilai spiritual dan sosialnya?
Dalam konteks inilah, beberapa opsi jalan tengah mulai diperbincangkan:
- Pengelolaan kolektif tambang dengan kontrol lingkungan yang ketat, bila memang tetap masuk sektor ini.
- Diversifikasi ke sektor non-ekstraktif seperti energi surya, pertanian organik, industri halal, dan teknologi inklusif.
- Kemitraan strategis dengan BUMN atau koperasi rakyat yang transparan, bukan hanya sekadar penyertaan nama.
- Pemberdayaan ekonomi pesantren melalui produk lokal dan sistem distribusi digital.
Namun, semua ini menuntut lebih dari sekadar kebijakan populis. Ia memerlukan desain regulasi yang tegas, peta jalan ekonomi umat yang visioner, serta kapasitas teknis yang ditanamkan lewat pelatihan, institusionalisasi, dan kaderisasi ekonomi yang sungguh-sungguh.
Alternatif: Kemandirian yang Ramah Lingkungan
Mendorong kemandirian pesantren dan ormas keagamaan tidak harus dilakukan dengan menyeret mereka ke sektor tambang yang padat risiko, rawan konflik, dan sarat beban ekologis. Jika yang dicari adalah sumber penguatan ekonomi umat, maka jalan hijau dan berkeadilan jauh lebih selaras dengan misi etik dan sosial pesantren itu sendiri.
Untuk menciptakan alternatif nyata, negara perlu mendesain ulang arsitektur pemberdayaan pesantren berbasis nilai dan konteks:
- Bangun Dana Pembiayaan Hijau untuk Pesantren
Fasilitasi pembiayaan murah berbasis syariah untuk program ekonomi mikro, ekowisata, energi bersih, dan industri lokal di bawah pesantren.
- Dirikan Pusat Pelatihan Ekonomi Lokal di Pesantren
Pusat ini melatih santri dan masyarakat sekitar dalam bidang pertanian cerdas, pemasaran digital, keuangan mikro, dan inovasi sosial.
- Berikan Akses Lahan Produktif, Bukan Tambang
Beri prioritas bagi pesantren untuk mengelola tanah negara atau tanah wakaf tidur demi kegiatan produktif dan konservatif, bukan eksploitasi.
- Integrasikan Kurikulum Etika Ekologi dan Ekonomi Sosial
Dorong pendidikan santri untuk tidak hanya mempelajari fiqh ibadah, tetapi juga fiqh lingkungan dan ekonomi keadilan sosial.
Penutup: Jangan Korbankan Nilai demi Kuasa
Wacana pemberian izin tambang kepada lembaga keagamaan tidak sepenuhnya keliru jika hanya dibaca sebagai upaya redistribusi sumber daya. Namun begitu ia dijalankan tanpa kerangka nilai, tanpa kesiapan teknis, dan tanpa pertimbangan ekologi, maka kebijakan itu berubah dari afirmasi menjadi kooptasi. Agama dijadikan alat stempel untuk legalitas ekonomi ekstraktif, bukan lagi sebagai ruang etik yang menjaga keberlangsungan hidup.
Yang dikorbankan bukan hanya lingkungan, bukan hanya nyawa para buruh tambang yang bekerja di bawah risiko tinggi seperti di Cirebon, tetapi juga martabat lembaga keagamaan itu sendiri. Nama pesantren yang seharusnya menjadi simbol kedamaian dan pendidikan spiritual, kini tercantum dalam berita longsor tambang, dalam dokumen perizinan Galian C, dalam daftar penerima IUP yang semestinya bukan domainnya.
Di sinilah negara harus lebih bijak. Jika benar negara mencintai ormas keagamaan, maka lindungilah mereka dari peran-peran yang tidak sesuai dengan wataknya. Jangan seret pesantren ke dalam bisnis yang menyisakan konflik, menciptakan kesenjangan, dan memutar logika perjuangan umat menjadi hanya perhitungan tonase dan royalti.
Kita harus kembali bertanya: Apakah kita ingin membangun kemandirian umat dengan menggali bumi, atau menumbuhkan kehidupan? Karena bila pesantren ditakdirkan menjadi cahaya, maka jangan padamkan sinarnya dengan debu tambang. Bila agama adalah jalan keselamatan, maka jangan arahkan ia ke jurang korporatisasi dan eksploitasi. Wallahu A'lam Bishawab