REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas HAM memberikan perhatian serius terhadap kasus pembunuhan jurnalis perempuan Juwita yang dilakukan oleh angggota TNI AL Jumran pada 22 Maret 2025. Komnas HAM menegaskan aksi Jumran tergolong pembunuhan terencana.
Komnas HAM telah memantau peristiwa tersebut dengan meminta keterangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kalimantan Selatan, kuasa hukum keluarga korban, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), keluarga korban, Kepala Oditurat Militer III-15 Banjarmasin, Polres Banjarbaru, serta pihak terkait lainnya.
"Peristiwa kematian Juwita merupakan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh oknum TNI AL Kelasi I Jumran. Terdakwa merencanakan dengan matang dengan mengatur mengenai mobilisasi hingga menyiapkan alibi," kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing dikutip pada Sabtu (24/10/2025).
Komnas HAM juga telah mengirimkan Pendapat HAM (amicus curiae) kepada Kepala Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin. Komnas HAM menekankan motif pembunuhan terhadap Juwita tidak lepas dari dinamika kekerasan seksual yang dialami oleh Juwita pertama kali.
"Terdakwa merasa terancam dan enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya sehingga memilih untuk merencanakan pembunuhan terhadap korban," ujar Uli.
Komnas HAM menyebut terdapat fakta pengakuan korban mengenai dugaan kekerasan seksual yang terjadi pada rentang waktu Desember 2024-Januari 2025. Ini didukung hasil visum yang ditemukan dalam jenazah Juwita.
"Seharusnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut secara menyeluruh. Jika unsur kekerasan seksual terbukti, maka terdakwa harus dijerat juga dengan Pasal dalam UU TPKS, sehingga keadilan dapat dijalankan secara menyeluruh," ujar Uli.
Komnas HAM juga menegaskan perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai dugaan keterlibatan pihak lain. Ini berdasarkan fakta menunjukkan adanya rentang waktu 16 menit yang menunjukkan perjalanan terdakwa setelah mengeksekusi korban.
"Fakta mengenai terdakwa yang menumpang sebanyak tiga kali dengan orang tidak dikenal serta fakta mengenai terdakwa yang menghilang dari sisi kiri mobil (berlawanan arah pengemudi) sebelum mobil melaju," ujar Uli.
Selain itu, Komnas HAM mendesak Majelis hakim melakukan pendekatan hukum berbasis korban dalam menangani peristiwa ini dengan menjamin keamanan dan martabat korban serta keluarganya.
"Menetapkan keluarga korban memperoleh kompensasi dan atau restitusi dari terdakwa sebagai akibat dari tindak pidana terhadap korban," ujar Uli.
Kemudian Komnas HAM mendorong Majelis Hakim untuk memeriksa dan memutus perkara ini secara objektif, imparsial, berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan, menghindari victim blaming, dan berperspektif gender. Tujuannya agar menghasilkan putusan yang benar-benar mencerminkan penghormatan, perlindungan, dan pemulihan HAM.
"Hal ini untuk menjamin pemenuhan hak atas keadilan terhadap korban dan keluarga," ujar Uli.