REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Polda Jawa Tengah (Jateng) tengah memburu otak jaringan wartawan gadungan beranggotakan 175 orang yang beroperasi di seluruh provinsi di Pulau Jawa. Korban pemerasan dari para wartawan gadungan tersebut beragam, mulai dari publik figur hingga anggota badan legislatif.
"Saya tekankan kembali, karena ini organisasi, sindikat, bukan perorangan, saya akan telusuri, kita akan cari para pelakunya, terutama siapa yang menginisiasi dan memimpin mereka (wartawan gadungan) ini," kata Dirreskrimum Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio, Sabtu (17/5/2025).
Menurut Dwi, dengan beranggotakan 175 orang, jaringan wartawan gadungan tersebut tergolong besar. "Seratus tujuh puluh lima anggota itu bukan sedikit, banyak sekali. Operasinya juga di seluruh (Pulau) Jawa. Ini menjadi suatu perhatian buat kami, karena kerugiannya (para korban) pasti akan besar," ujarnya.
Dwi juga mendorong masyarakat yang pernah menjadi korban jaringan wartawan gadungan agar segera melapor ke Polda Jateng atau polres-polres terdekat. "Tolong lapor kepada kami. Jangan takut, kami akan merahasiakan identitas bagi para korban," kata dia.
Sebelumnya Dwi mengungkapkan, korban dari jaringan wartawan gadungan berasal dari beragam kalangan. "Ada publik figur, anggota dewan, dokter, akademisi, pengusaha, dan masyarakat lainnya.
Dia mengatakan, sebelum melakukan pemerasan, para anggota jaringan wartawan gadungan tersebut terlebih dulu memilah calon korbannya. Mereka membidik orang-orang yang memiliki ekonomi atas.
"Jadi dia lihat, apabila korban itu menggunakan kendaraan bagus, itu langsung diikuti," kata Dwi dalam konferensi pers, Jumat (16/5/2025).
Dwi menjelaskan, dalam menjalankan aksinya, para pelaku biasanya menguntiti calon korbannya ke tempat penginapan. Pada saat korban bersama pasangannya keluar dari penginapan, kemudian langsung ditemui oleh yang bersangkutan yang mengaku sebagai wartawan.
Dalam aksi tersebut, para pelaku bertindak secara berkelompok. "Mereka bisa menyiapkan anggotanya dalam setiap operasi minimal sepuluh orang. Bahkan ada beberapa kasus, mereka bisa mengerahkan 70 anggotanya," ungkap Dwi.
Saat operasi, para pelaku mengancam akan mempublikasikan atau menyebarluaskan perbuatan atau aib korban. "Sehingga korban ketakutan. Awalnya mereka diancam agar segera membayar tebusan sebanyak Rp 100 sampai Rp 150 juta. Yang kami dapatkan saat ini kasusnya, sudah terkirim Rp 12 juta," kata Dwi.
Menurut Dwi, uang hasil memeras tersebut kemudian dibagi rata oleh para pelaku. Dia mengungkapkan, berdasarkan keterangan yang telah dihimpun, jaringan wartawan gadungan tersebut telah beroperasi sejak 2020.
"Saat ini pengakuan mereka, baru sembilan kali yang terdata. Di Semarang tiga kali, di Yogya satu kali, Jakarta dua kali, Malang satu kali, dan Surabaya dua kali," kata Dwi.
Pengakuan itu berasal dari empat tersangka yang telah diringkus Ditreskrimum Polda Jateng. Penangkapan keempat pelaku tersebut menjadi pintu bagi Polda Jateng dalam mengungkap jaringan wartawan gadungan beranggotakan 175 orang yang beroperasi di seluruh provinsi Pulau Jawa.
Dwi mengungkapkan, keempat tersangka dibekuk di Rest Area Tol Semarang-Boyolali pada 11 Mei 2025 lalu. Dalam penangkapan itu, Ditreskrimum Polda Jateng sebenarnya hendak membekuk tujuh orang, tapi tiga lainnya berhasil melarikan diri. "Yang empat orang sudah kami tahan, kemudian tiga kemarin bisa meloloskan diri. Empat orang ini atas nama HMG, AMS, KS, dan IH," kata Dwi.
Dia mengatakan, setelah penangkapan empat pelaku, yang salah satunya adalah perempuan, timnya segera melakukan pendalaman. Dari proses tersebut, Ditreskrimum Polda Jateng mengetahui bahwa empat tersangka merupakan anggota dari jaringan yang lebih besar.
"Ternyata ini adalah jaringan besar. Pelaku tersebut ternyata bukan hanya empat orang ataupun tujuh orang. Ternyata kelompok ini jumlahnya 175 anggota, dan itu ada di alat bukti digital yang telah kami sita," ujar Dwi.
Dia menjelaskan, 175 anggota jaringan wartawan gadungan itu berasal dari berbagai daerah dan memiliki latar belakang beragam. Bahkan ada anggota yang berstatus sebagai mahasiswa. "Kita terapkan Pasal 368 (KUHP), ancaman maksimal sembilan tahun penjara," kata Dwi ketika ditanya pasal apa yang dikenakan kepada keempat tersangka.