REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menyita jutaan hektare lahan yang dinilai ilegal dan masuk kawasan hutan memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha. Kepala Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Budi Mulyanto menyoroti pentingnya penyelesaian hukum lahan secara tuntas sebagai fondasi utama kepastian hukum, penarikan investasi, serta stabilitas nasional.
Menurut Budi, penyitaan lahan sawit besar-besaran yang dilakukan Satgas PKH tanpa proses dialog akan menimbulkan keresahan sosial dan ketidakpastian hukum. Hal itu juga berpotensi mengganggu iklim investasi.
"Kalau lahan disita, lalu dampaknya apa? Itu saya ngomong ini sejak tahun 2001. Kalau status legalitas dibuat abu-abu, bisa timbul konflik dan penjarahan. Dan kalau masif, ini akan berdampak ke stabilitas nasional, bukan hanya keamanan tapi juga politik ekonomi dan sosial," jelas Budi dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Hal itu juga dikhawatirkan berdampak langsung pada peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia. Budi menyebut, penertiban kawasan hutan harus dilakukan secara hati-hati dan melalui proses verifikasi lapangan yang melibatkan masyarakat.
Menurut dia, dasar hukum penetapan kawasan hutan harus merujuk Pasal 13, 14, dan 15 Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Aturan tersebut memuat proses verifikasi, penunjukan, penataan, pemetaan, dan baru kemudian penetapan. "Nggak bisa hanya pakai citra satelit. Itu hanya sketsa awal. Harus ada verifikasi di lapangan. Banyak masyarakat dirugikan karena lahannya yang sebenarnya bukan hutan, masuk dalam peta kawasan hutan," ucap Budi.
Dia menilai, penguasaan dan kepemilikan lahan itu sangat penting, bukan hanya untuk kepentingan masyarakat, tetapi juga untuk negara. Budi menjelaskan, tanah bersertifikat memudahkan pemerintah menarik pajak, mengatur pemanfaatan lahan, dan memberi ruang bagi investasi. Penguasaan lahan yang legal adalah kunci kestabilan sosial dan keamanan nasional.
"Saya pernah di BKPM. Yang pertama ditanya investor itu status lahan. Kalau tidak jelas, mereka mundur. Maka jangan heran jika investor lebih tertarik ke negara lain seperti Vietnam yang menyiapkan lahan ribuan hektare dengan status hukum yang bersih untuk para investor," jelas Budi.