REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Meski sudah dibombardir habis-habisan oleh IDF, Gaza ternyata masih menjadi tempat pejuang perlawanan mewujudkan Palestina merdeka. Hamas beserta para pendukungnya masih angkat senjata dan menghabisi tentara Israel suruhan Benjamin Netanyahu.
Serangan IDF setelah gencatan senjata tahun ini merupakan bentuk pengkhianatan negara zionis pimpinan Benjamin Netanyahu terhadap perjanjian yang sudah disepakati. Agresi tersebut mengakibatkan wajib perang yang semula sudah seharusnya istirahat, kembali angkat senjata ke medan tempur. Mereka mengalami kelelahan bahkan burnt out.
Namun Netanyahu bersama koalisi ekstremis sayap kanannya mengabaikan hal tersebut. Mereka lebih memilih opsi menghabisi Hamas, sesuatu yang sulit untuk direalisasikan. Karena sejak 2023 hingga Januari tahun ini IDF membombardir Gaza habis-habisan, gagal menghabisi gerakan perlawanan tersebut.
Hamas tetap saja tampil berseragam dan bersenjata lengkap melepas sandera sandera Israel yang melambaikan tangan, tersenyum, bahkan mencium pasukan Hamas. Kemudian mereka pergi menjumpai relawan PMI yang mengantarkan mereka kembali ke Israel.
Hamas tetap kuat, mengakar hingga ke jantung bumi. Gerakan ini akan tetap merealisasikan Palestina merdeka, yang terbebas dari penjajahan Israel. Kemudian menjadikan Yerusalem, tempat masjid al Aqsha berada, sebagai ibu kota negara tersebut.
Apakah warga Israel memprioritaskan pemusnahan Hamas atau membebaskan sandera?
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Viterbi Family Center for Public Opinion and Policy Research, yang berafiliasi dengan Israel Democracy Institute, menunjukkan bahwa hampir separuh warga Israel, 49%, tidak percaya bahwa adalah mungkin untuk mengatur pemulangan tahanan yang tersisa di Jalur Gaza sementara pada saat yang sama "menggulingkan Hamas dan menyingkirkannya dari kekuasaan di Jalur Gaza."