REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pengelola bandara Malaysia, Malaysia Airports Holdings Berhad (MAHB), mengalami serangan siber, dengan peretas yang menuntut tebusan sebesar 10 juta dolar AS atau lebih dari Rp165 miliar. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Kuala Lumpur, Selasa (25/3/2025) menyatakan tegas menolak tuntutan sang peretas.
“Saya sudah diberi tahu. Alhamdulillah, bulan Ramadan, saya tidak perlu tunggu waktu lima detik saya jawab, ‘No!’” kata Anwar.
Anwar mengatakan bahwa pembahasan mengenai penyelesaian serangan siber terhadap MAHB telah berlangsung dalam satu hingga dua hari terakhir. Termasuk mengenai tuntutan peretas yang meminta tebusan sebesar 10 juta dolar AS dan hal-hal terkait lainnya.
Anwar menegaskan bahwa suatu negara tidak mungkin selamat jika pemimpinnya dan sistem yang ada tunduk pada ultimatum pelaku kejahatan dan pengkhianat, baik dari dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, ia dengan tegas langsung mengatakan "tidak."
Ia mengakui adanya risiko dalam mengungkapkan hal tersebut, namun tetap merasa perlu menyampaikannya kepada masyarakat. Menurutnya, diperlukan sistem yang canggih untuk menangani serangan siber, serta tambahan dana bagi Polisi Kerajaan Malaysia (PDRM), sektor perbankan, dan negara secara keseluruhan guna meningkatkan kesiapsiagaan.
Namun, Anwar menegaskan pentingnya mengambil sikap yang tepat. Ia ingin memberikan contoh bagaimana bertindak secara wajar dan bijaksana dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Ia juga mengimbau agar tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan ini.
“Sebab bila kita tunjukkan kelemahan kita, negara tidak akan punya kendali. Kita bisa bersabar menghadapi kritik, tapi tidak boleh lengah terhadap benih-benih rasuah, penyelundupan, pengkhianatan, ataupun pembawa permusuhan antar ras dan agama,” kata Anwar.
Anwar mengungkapkan adanya serangan siber tersebut saat menyampaikan sambutan pada peringatan Hari Polisi ke-218 di Pusat Latihan Polisi, Kuala Lumpur, yang juga dapat diikuti secara daring.