REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jauh di tanah Swiss yang bersalju, takdir mulai merajut kisah dua insan yang kelak menjadi Raja dan Ratu yang amat dicintai oleh rakyat Thailand.
Pertemuan pertama mereka bukanlah di aula istana yang megah, melainkan di sebuah tempat yang sederhana: Konservatori Lausanne. Di sanalah, Bhumibol Adulyadej, seorang pangeran muda yang tengah menempuh pendidikan, bertemu dengan Sirikit Kitiyakara, putri seorang diplomat yang masih belia dan berbakat.
Pertemuan itu laksana alunan musik yang mengalun perlahan, mengisi hati mereka dengan melodi yang tak pernah mereka dengar sebelumnya, sebuah melodi tentang cinta.
Cinta mereka tumbuh dalam kesederhanaan, jauh dari gemerlap kehidupan kerajaan. Bhumibol yang dikenal sebagai musisi jazz berbakat, menemukan harmoni baru dalam tawa dan senyum Sirikit. Mereka berbagi minat yang sama, terutama terhadap musik, yang menjadi bahasa universal bagi keduanya, sebagaimana diberitakan Reuters dan Asharq al Awsath.
Setiap pertemuan adalah harmoni baru, sebuah notasi cinta yang mengisi lembaran hidup mereka dengan keindahan yang tak terlukiskan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, saling mengenal, dan perlahan-lahan, benih cinta pun bersemi di antara mereka.
Ketika kecelakaan tragis menimpa Bhumibol, yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit, cinta Sirikit diuji. Dengan setia, Sirikit menjenguknya setiap hari, mengisi hari-hari penuh penderitaan sang pangeran dengan ketulusan dan perhatian.
Di sinilah Bhumibol menyadari, wanita di hadapannya bukan hanya gadis biasa, melainkan sosok yang akan setia mendampinginya melewati suka dan duka. Kebaikan dan ketulusan Sirikit bagaikan obat penenang bagi Bhumibol, meyakinkan hatinya bahwa ia telah menemukan belahan jiwa.
Puncak dari kisah cinta mereka pun tiba ketika Bhumibol meminang Sirikit. Pinangan itu bukanlah semata-mata keputusan politik, melainkan ungkapan hati yang tulus. Pada 19 Juli 1949, dalam sebuah upacara pertunangan sederhana di Lausanne, Pangeran Bhumibol secara resmi melamar Sirikit.
Ia menggunakan cincin pertunangan warisan sang ibunda, sebuah simbol cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di momen sakral itulah, janji suci terucap, mengikat dua hati untuk selamanya.