REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Monarki Thailand bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi juga cerminan ikatan batin antara raja dan rakyatnya. Di balik sejarah panjang negeri Gajah Putih itu, berdiri dua sosok perempuan luar biasa yang mengubah wajah bangsanya bukan dengan pedang, melainkan dengan kasih, kerja, dan kebijaksanaan.
Mereka adalah Putri Srinagarindra dan Ibu Suri Sirikit dua srikandi yang masing-masing memegang peran besar dalam membangun jembatan kemanusiaan antara istana dan rakyat jelata.
Kedua perempuan ini mewakili dua generasi yang berbeda, namun keduanya memiliki satu kesamaan: keyakinan bahwa kemuliaan sejati seorang bangsawan terletak pada pengabdian.
Putri Srinagarindra menanamkan nilai itu dengan berjalan kaki menembus pegunungan di utara Thailand, sedangkan Ibu Suri Sirikit menghidupkannya lewat diplomasi budaya, pendidikan, dan cinta kasih yang tiada henti.
Putri Srinagarindra, Sang Ibu dari Dua Raja
Putri Srinagarindra, yang lahir dengan nama Sangwan Talapat, mungkin bukan berasal dari darah biru sejak awal. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana di Nonthaburi pada tahun 1900.
Namun takdir membawanya menjadi ibu dari dua raja besar Thailand: Raja Ananda Mahidol (Rama VIII) dan Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX). Sejak muda, kecerdasannya telah menarik perhatian keluarga kerajaan, hingga ia mendapat kesempatan belajar ke luar negeri dan kemudian menikah dengan Pangeran Mahidol Adulyadej.
Setelah suaminya wafat di usia muda, Putri Srinagarindra mendidik kedua putranya dengan disiplin, cinta, dan rasa tanggung jawab tinggi terhadap rakyat. Ia menanamkan pada mereka prinsip bahwa seorang raja sejati bukan hanya duduk di singgasana, melainkan berdiri bersama rakyatnya. Nilai-nilai itulah yang kelak menjadi fondasi pemerintahan panjang Raja Bhumibol yang dicintai rakyatnya.