REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY -- Kelompok pejuang Palestina Hamas pada Sabtu (22/3/2025) menyatakan komunikasi dengan para mediator terkait gencatan senjata di Jalur Gaza dan kesepakatan pertukaran tawanan dengan Israel tidak pernah berhenti.
Dalam sebuah pernyataan, juru bicara Hamas Abdul Latif al-Qanoua mengatakan,"Proposal yang diajukan oleh (utusan presiden AS) Steve Witkoff, bersama dengan beberapa gagasan lainnya, sedang dibahas dengan para mediator."
Pada 13 Maret, media Israel melaporkan bahwa Witkoff mengajukan proposal yang mencakup pembebasan lima warga Israel yang ditawan dengan imbalan gencatan senjata selama 50 hari, pembebasan tahanan Palestina dari penjara Israel, masuknya bantuan kemanusiaan, serta dimulainya negosiasi tahap kedua.
Keesokan harinya, Hamas mengumumkan persetujuannya terhadap proposal yang diajukan oleh para mediator, yang mencakup pembebasan seorang tentara Israel-Amerika dan pengembalian empat jenazah yang berkewarganegaraan ganda, sebagai bagian dari kelanjutan negosiasi tahap kedua.
Al-Qanoua menegaskan, pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu sebagai hambatan utama dalam mencapai kesepakatan. Ia menambahkan, kelanjutan implementasi kesepakatan bergantung pada sikap Netanyahu yang lebih mengutamakan kelangsungan pemerintahannya dibandingkan dengan nyawa para tawanan di Gaza.
Ia juga menegaskan kesiapan Hamas untuk terlibat dalam pengaturan apa pun terkait pemerintahan Gaza, asalkan didasarkan pada konsensus nasional. Hamas, katanya, tidak berambisi untuk berperan dalam kerangka administrasi apa pun.
"Hamas sebelumnya telah menyetujui pembentukan komite dukungan masyarakat di Gaza yang tidak melibatkan Hamas," kata dia.
"Kami tidak berambisi untuk menguasai Gaza. Yang penting bagi kami adalah adanya konsensus nasional, dan kami berkomitmen pada hasilnya," ujar juru bicara Hamas.
Al-Qanoua juga mengecam dimulainya kembali perang Israel di Gaza, menyebutnya sebagai "perang genosida" yang dilakukan dengan dukungan Amerika Serikat. Ia mendesak AS untuk menekan Israel agar kembali ke perjanjian gencatan senjata dan menahan diri untuk tidak menjadi pihak dalam konflik.
Sejak Selasa (18/3/2025), lebih dari 700 warga Palestina tewas dan lebih dari 1.000 lainnya terluka akibat serangan udara mendadak Israel di Gaza, yang menghancurkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan yang berlaku sejak Januari.
Sejak Oktober 2023, hampir 50 ribu warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah terbunuh, sementara lebih dari 113 ribu lainnya terluka akibat serangan militer Israel yang brutal di Gaza.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan kepala pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait serangan di wilayah tersebut.