REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Partai Ummat akan segera melakukan judicial review atau uji materi terhadap ketentuan pada pasal UU Pemilu mengenai verifikasi faktual yang dianggap tidak adil dan tidak relevan lagi karena bertentangan dengan azas keadilan dan persamaan di depan hukum.
“Partai Ummat memandang verifikasi faktual ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan melawan azas keadilan. Karenanya kita mengajak semua pihak untuk ikut serta memperjuangkan keadilan dengan mengajukan uji materi ke MK,” Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi memberikan penjelasan, Rabu (5/3).
Partai Ummat mencatat Pasal 173 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menyebutkan "Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU" telah beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi.
Permohonan uji materi untuk pasal ini pernah diajukan oleh Partai Idaman, Partai Garuda, Partai Berkarya, Perindo, PSI dan Prima tetapi hanya permohonan Partai Idaman dan Partai Garuda yang dikabulkan sebagian.
Dalam amar putusannya MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Idaman dalam hal frasa ‘telah ditetapkan’, dan permohonan Partai Garuda sehingga pasal 173 ayat (1) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”.
“Perbedaan perlakuan terhadap partai politik yang sudah memenuhi ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) dengan partai politik yang belum memenuhi ambang batas parlemen adalah perlakuan berbeda yang tidak sesuai dengan asas equality before the law. Perbedaan perlakuan ini menggunakan kriteria yang tidak relevan,” kata Ridho.
Ridho mengatakan seharusnya agar tidak terjadi perbedaan perlakuan terhadap partai politik calon peserta Pemilu, verifikasi dilakukan kepada seluruh calon peserta Pemilu, atau hanya kepada partai yang belum pernah memenuhi persyaratan verifikasi.
“Karena, jika kita kembalikan pada esensi verifikasi, verifikasi seharusnya hanya dilakukan terhadap partai yang belum memenuhi syarat verifikasi sehingga cukup dilakukan sekali saja. Jika partai pernah diverifikasi dan pernah memenuhi persyaratan, maka tidak perlu diverifikasi ulang terlepas dari hasil perolehan suara atau kursinya di DPR,” kata Ridho.
Ridho menjelaskan sebenarnya istilah verifikasi faktual sendiri tidak tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Istilah verifikasi faktual hanya tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu yang sudah dicabut dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut.
“Sehingga ketika KPU menggunakan istilah verifikasi faktual pada peraturan KPU, ini sebenarnya norma yang sama sekali tidak diamanatkan oleh UU di atasnya,” kata Ridho.