REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jawa Tengah (Jateng) lekat diasosiasikan sebagai kandang banteng dalam konstelasi politik di Tanah Air. PDIP memang selalu menjadi partai politik dengan perolehan suara tertinggi selama ini, terakhir pada Pileg 2024. Tapi, calon presiden (capres), termasuk calon gubernur (cagub) yang diusung PDIP pada kontestasi 2024 tumbang.
Pada Pilpres 2024, pasangan Ganjar-Mahfud yang diusung PDIP tak mampu mengungguli pasangan Prabowo-Gibran yang disokong penuh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Ganjar-Mahfud 'hanya' mendulang 7.827.335 suara atau 34,35 persen dari total pemilih di Jateng. Sedangkan Prabowo-Gibran mampu merebut 12.096.454 suara atau 53,08 persen.
Kekalahan menyakitkan itu belum berakhir. Pada Pilgub Jateng 2024, pasangan Andika-Hendi yang menjadi jagoan PDIP pun hampir pasti kalah. Semua lembaga survei menempatkan pasangan Luthfi-Yasin sebagai pemenang dengan selisih suara sangat signifikan, berada di luar batas margin of error. Sekali lagi, PDIP hampir pasti kalah di Pilgub Jateng 2024.
Sebaliknya, dalam konteks Jateng, capres dan cagub yang disokong Jokowi menjadi jawaranya. Prabowo-Gibran menang, Luthfi-Yasin unggul signifikan. Dalam kampanye Luthfi-Yasin, Jokowi bahkan turun gelanggang. Dia ikut di lapangan menjumpai masyarakat bersama Luthfi-Yasin. Semua itu berakhir kemenangan bagi calon yang didukung Jokowi.
Lantas, apakah masih bisa Jateng disebut 'kandang banteng'?