REPUBLIKA.CO.ID, Sepekan jelang pemungutan suara Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024 pada 27 November, suasana di Kampung Susun Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, berjalan seperti biasa. Tak terasa euforia ataupun gegap gempita dari pesta demokrasi di sana.
Di pos penjagaan jalan masuk menuju kampung tersebut tampak para penjaga gerbang asik menikmati rokoknya sembari mendengarkan musik dari radio. Namun, di sana sama sekali tak terdengar barang sedikit pun obrolan soal Pilkada Jakarta meskipun waktu pencoblosan tinggal menghitung hari.
Kendati suasana di luar tampak tenang, namun jauh di dalam hati, masyarakat di sana merasa cemas. Kecemasan tersebut bersumber atas trauma penggusuran di tahun 2016.
Salah satu warga Kampung Akuarium, Topas (37 tahun), mengatakan, ia masih bertanya-tanya soal kepastian hak untuk bermukim di atas tanah pemerintah itu. Pasalnya, warga dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta hanya terikat perjanjian kerja sama hingga 2027.
"Jadi kita bener-bener apa hak keamanan bermukim kami? Jadi kita ngambang, entah punya atau enggak. Jadi maksud saya, apa keamanan kami nanti setelah terpilih pemimpin 2024 nanti?," katanya.
Topaz juga menceritakan bagaimana perjuangan warga di sana hingga akhirnya bisa menempati rusun yang baru rampung di tahun 2021 tersebut. Ia juga mengatakan banyak anak-anak yang lahir di tahun 2016 masih mengalami trauma akibat penggusuran.
"Kami dulu tinggal di bedeng-bedeng. Kan hujan kehujanan, panas kepanasan, berdiam diri tanpa air dan listrik waktu itu. Kalau di Indonesia ada Gaza, ya kita itu Gaza-nya Jakarta, ya itu cerminannya," katanya.
"Dampak traumatis anak-anak sampai tahu siapa yang gusur rumahnya dan dia tahu pemimpin yang bangun rumahnya, jadikan traumatis itu yang nggak bisa hilang," katanya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan hanya ingin pemimpin Jakarta adalah yang sosok adil. Selain adil, ia hanya meminta pemimpin ke depannya tak melakukan penggusuran.
Kendati demikian, ia mengaku tahu ada gerakan 'mencoblos semua' di Pilkada 2024 mendatang. Ia mengaku gerakan tersebut lahir karena merasa ketiga calon tersebut tidak lahir dari rahim politik yang bersih.
"Intinya kita belum ada tertarik dari ketiganya. Gerakan itu tercipta dari kampung-kampung jaringan tapi tidak dikampanyekan saja dan tidak memaksa," katanya.
Warga lainya, Supiyati (41) mengaku mencari sosok pemimpin yang seperti mantan gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Ia mengungkapkan, alasannya karena Anies adalah sosok pemimpin yang merakyat.
"Maunya saya, sosoknya seperti Pak Anies pokoknya yang saya cari. Dia merakyat, dia merangkul," katanya.