REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menyoroti pilihan metode pemungutan suara melalui pos seperti di Malaysia untuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal itu dinilai demi melindungi hak pilih masyarakat, utamanya yang merantau.
"Kalau di Malaysia, ada lho, surat suara yang dikirim dengan pos. Siapa tahu ke depan itu bisa diadopsi," ujar Saldi Isra dalam acara bertema "Suara Kita: Jernih Berpikir, Bebas Berekspresi", dipantau dari Jakarta, Jumat (15/11/2024).
Saldi merasa permasalahan hak pilih milik perantau dalam pemilihan kepala daerah harus dipikirkan oleh para pembentuk undang-undang. Dalam pemilihan presiden, kata dia, masih bisa memindahkan hak pilih ke daerah rantau sebab daerah pemilihan (dapil) presiden berada di tingkat nasional.
Sedangkan, dapil untuk kepala daerah tidak berada di tingkat nasional. "Pembentuk undang-undang sudah harus mulai memikirkan apakah suara bisa dikirim melalui pos atau ke depan itu bisa melalui elektronik voting," ucap dia.
Selama ini, pemerintah sudah memberikan hari libur pada saat pemungutan suara agar masyarakat bisa menggunakan hak politiknya untuk memilih sambil menikmati masa libur. Akan tetapi, muncul kendala berupa biaya mobilisasi bolak-balik yang mahal.
"Tidak mungkin tiba-tiba ayo angkat tangan siapa yang mau pulang, nanti kita beri tiket bolak-balik. Nanti dibilang money politics (politik uang)," ujar Saldi Isra.
Mahkamah Konstitusi pada Kamis (14/11/2024) meminta pembentuk undang-undang mempertimbangkan penggunaan peralatan pemilihan secara elektronik yang pada dasarnya merupakan pengadopsian teknologi digital dalam pemilu. Demikian pertimbangan hukum Putusan Nomor 137/PUU-XXII/2024 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.
Dalam perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para Pemohon soal pemindahan lokasi pemilihan untuk pilkada, khususnya bagi pemilih yang harus memilih di luar provinsi atau kabupaten/kota.