REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) mengungkapkan tak mendapati pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim dalam menangani kasus tindak pidana Pemilu.
Temuan itu berdasarkan pemantauan KY terhadap 74 perkara tindak pidana pemilu sejak Januari - Oktober 2024. Puluhan perkara itu tersebar di 23 provinsi dan 52 Pengadilan Negeri.
"Tidak ditemukan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim saat bersidang. Artinya memang enggak tahu apa memang benar ada pelanggaran apapun yang dilakukan oleh hakim, enggak ada dugaan pelanggaran etik, tidak ada pelanggaran hukum acara dan sebagainya," kata Anggota KY Joko Sasmito dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu (6/11/24).
Joko menjelaskan pemantauan itu dilakukan guna menjaga perilaku para hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Walau demikian, Joko menyadari pemantauan oleh KY sangat terbatas lantaran minimnya anggaran dan sumber daya manusia.
"Sehingga tidak semua yang diajukan untuk dipantau kepada KY itu tidak semuanya pasti bisa kita pantau," ujar Joko.
Tercatat, klasifikasi jenis tindak pidana pemilu yang dipelototi oleh KY berupa politik uang, tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, memberikan suara lebih dari satu kali, melakukan pelanggaran larangan kampanye, menggagalkan pemungutan suara, dan beberapa tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu.
"Dengan adanya pemantauan persidangan, maka salah satunya tujuannya dapat mencegah hakim melakukan pelanggaran KEPPH. Artinya, upaya KY dikatakan berhasil karena tidak ditemukan pelanggaran etik oleh hakim saat bersidang," ucap Joko.