REPUBLIKA.CO.ID, DOHA – Qatar telah menghentikan upaya mediasi utamanya antara Hamas dan Israel, setelah semakin frustasi dengan kurangnya kemajuan dalam perjanjian gencatan senjata di Gaza. Hal ini mengancam upaya penghentian agresi militer Israel yang kian kemari makin brutal.
Belum jelas apakah sisa kepemimpinan Hamas yang berada di Qatar harus meninggalkan negara itu, atau ke mana mereka akan pergi. Hamas memiliki hubungan baik dengan Iran dan Turki, dan beberapa pemimpinnya kini berada di Lebanon.
Namun, Qatar kemungkinan besar akan kembali melakukan upaya mediasi jika kedua belah pihak menunjukkan “keinginan politik yang serius” untuk mencapai kesepakatan, menurut seorang pejabat Mesir, mediator utama lainnya.
Qatar mengatakan kepada Israel dan Hamas bahwa mereka tidak dapat terus melakukan mediasi “selama ada penolakan untuk menegosiasikan kesepakatan dengan itikad baik” dan “sebagai konsekuensinya, kantor politik Hamas tidak lagi memenuhi tujuannya” di Qatar, sebuah sumber diplomatik diberi pengarahan tentang masalah tersebut.
Qatar mengatakan kepada Hamas bahwa mereka harus keluar dari sana jika tidak siap untuk terlibat dalam perundingan serius, kata sumber itu. Di Washington, seorang pejabat AS mengatakan pemerintahan Biden memberi tahu Qatar dua minggu lalu bahwa operasi lanjutan kantor Hamas di Doha tidak lagi berguna dan delegasi Hamas harus diusir.
Seorang pejabat senior AS mengatakan bahwa setelah Hamas menolak proposal terakhir untuk gencatan senjata, Qatar menerima saran tersebut dan memberitahu delegasi Hamas mengenai keputusan tersebut 10 hari yang lalu.
Seorang pejabat senior Hamas mengatakan mereka mengetahui keputusan Qatar untuk menghentikan upaya mediasi, “tetapi tidak ada yang menyuruh kami untuk pergi (dari Qatar).”
Hamas telah berulang kali menyerukan diakhirinya perang dan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza sebagai syarat untuk perjanjian gencatan senjata. Israel mengupayakan pengembalian semua sandera yang disandera dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel dan bersikeras untuk hadir di Gaza. Para pejabat tersebut berbicara tanpa menyebut nama karena sensitifnya masalah ini. Kantor perdana menteri Israel tidak memberikan komentar.
Mantan menteri pertahanan Israel Yoav Gallant dilaporkan mengungkapkan sejumlah rencana jahat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebelum dipecat pekan lalu. Menurutnya, Netanyahu memang tak ingin ada gencatan senjata dan akan memfasilitasi pencaplokan Gaza.
Media-media Israel seperti Haareetz dan Channel 12 melaporkan, pengungkapan itu disampaikan Gallant kepada keluarga sandera beberapa jam sebelum pemecatannya diberlakukan pada Kamis malam dan Knesset memutuskan untuk menyetujui penunjukan Israel Katz sebagai kepala pertahanan baru.
Menurut laporan di Channel 12, Gallant, yang tiba-tiba dicopot dari jabatannya, mengatakan kepada keluarga bahwa Netanyahu adalah satu-satunya yang dapat memutuskan apakah akan menyetujui adanya kesepakatan penyanderaan atau tidak. Ia mengatakan telah “mencoba dan gagal” untuk mempengaruhi perdana menteri mengenai masalah ini.
“Kepala Shin Bet, kepala staf dan saya pikir kepala Mossad juga setuju dengan saya,” kata Gallant, menjelaskan bahwa dia mengatakan kepada Netanyahu bahwa persyaratannya sudah matang untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata bulan Juli, namun Netanyahu keras kepala.
“Pada awal bulan Juli, Hamas menyetujui kesepakatan pertukaran tahanan, dan kondisinya menguntungkan sejak saat itu. Namun hingga saat ini, kami masih berselisih paham apakah sudah matang atau belum. Saya percaya, dan masih percaya, bahwa kita harus bersiap untuk membuat kesepakatan pertukaran tahanan dan menarik diri dari Koridor Philadelphi,” tambahnya.