Selasa 05 Nov 2024 15:30 WIB

Masakan Padang Sudah Dijual non-Minang Sejak Masa Kolonial

Polemik keaslian masakan Padang juga terjadi pada masa lalu.

Pramusaji meyiapkan makanan di rumah makan Padang di Cikini, Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pramusaji meyiapkan makanan di rumah makan Padang di Cikini, Jakarta, Selasa (10/1/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Razia rumah makan Padang yang disebut bukan diawaki oleh Orang Minang ramai jadi pembicaraan belakangan. Ternyata, bahwa masakan Padang dijual bukan oleh orang Minangkabau sedianya sudah hal yang biasa sejak dulu kala, demikian juga soal polemik keasliannya.

Fikrul Hanif Sufyan, periset dan pengajar sejarah yang juga pernah menjadi dosen tamu dalam visiting lecturer di Faculty of Art University of Melbourne Australia menuliskan temuan ini kepada Republika. Menurutnya, sejak lama, makanan Minang khususnya rendang sudah jadi bagian dari kuliner khas Indonesia.

Baca Juga

Sejak masa Kolonial Belanda, mudah ditemukan iklan-iklan restoran yang menyajikan masakan khas Minang – terutama rendang. Iklan-iklan itu dimuat di Sumatra Courant, de Sumatra Post, Bataviasch Nieuwsblad, Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, dan lainnya. 

Maison "Delmonico",  Toko Roti dan Kue yang berada di Semarang adalah satu dari sekian iklan restoran yang menyajikan makanan khas asal Minang tersebut. Maison Dolmenico pada 1935  menyediakan beberapa menu khusus. Diantaranya  Gado-gado Batavia, Nasi Rawon, Sate Ayam, Sambel Ati Ayam dengan nasi, Macatoni Lelawar dengan nasi, termasuk Rendang Padang dengan nasi (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 16 Januari 1935).

“Tentu menarik, menyimak iklan ini. Apatah lagi yang menyajikan menu rendang itu, bukanlah restoran alias lapau nasi yang pemiliknya berasal dari Sumatra Westkust,” tulis Fikrul Hanif Sufyan.

Ia juga menuturkan bahwa rendang bukan baru-baru ini saja dianggap sebagai salah satu masakan paling lezat sedunia. Rendang sudah terkenal di kalangan pelancong asal Belanda pada masa lalu. 

Hal ini terungkap dalam catatan perjalanan seorang jurnalis Belanda, bernama Theodore Fransiscus A Delprat, yang tertarik berlibur di Fort de Kock alias Bukittinggi. Dia adalah jurnalis Sumatra Courant pada 1925. Ia memilih berlibur ke kampung kelahirannya Bung Hatta itu – tertarik dengan catatan para pelancong yang mengisahkan indahnya Karbouwengat Ngarai Sianok) dan segarnya udara di Fort de Kock. 

photo
Menu rendang Padang di Maison Dolmenico Restoran Doewet di Semarang pada 1935. - (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie)

Namun, catatan Delphrat juga menyiratkan bahwa pesoalan masakan Minang yang autentik juga sudah sejak dulu kala. “Kami juga sangat menyukai rendang, tapi kami jarang mendapatkannya dengan memuaskan.” – demikian Dephrat menulis artikel perjalanannya di Sumatra Courant terbitan 29 Januari 1925. 

Menurut Fikrul Hanif Sufyan, Delphrat mengurai asal muasal rendang, sebagai hidangan dari daerah sekitar Padang, di tengah-tengah pantai Barat Sumatera, daerah pedalaman Minangkabau. “Hidangan favorit di sana adalah kalio: sejumlah bumbu dioleskan ke dalam pasta, potongan daging sapi dadu dioleskan dengan setengah bagian dan dari setengah bagian lainnya, ditambah dengan lebih banyak bumbu dan santan (rebusan kelapa yang ditumbuk), dimasak dengan saus kental sambil diaduk agar tidak mengendap,” demikian Delphrat menuturkan proses awal memasak rendang.  

Dalam tulisannya, Delphrat menikmati rendang di lapau nasi sederhana yang terletak di pinggir Jam Gadang. Di lepau nasi itu, ramai dikunjungi terutama pada jam makan siang. Delphrat menyukai rendang daging yang dimasak dengan kayu bakar. Ia menyukai lemak dari dari santan kelapa yang terserap ke dalam daging dan membuatnya tetap empuk. 

Bagaimanapun, di sini Delphrat kembali menyoal keaslian rendang yang ia makan. Menurutnya yang ia makan itu bukan rendang sejati, melainkan kalio daging yang diklaim dengan nama rendang. “Bukankah lebih baik menawarkan pilihan antara kalio dan rendang? Kami ingin rendang yang asli! Jika tidak, kami sangat puas dengan makanan kami di restoran Batavia. Wangi masakan kalio selalu menabrak hidung kami,” tulis Delphrat mengakhiri artikelnya.

Sejarah restoran Padang...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement