Ahad 20 Oct 2024 09:28 WIB

Sepuluh Tahun di Papua, dari Paniai Hingga Pemekaran

Jokowi sempat menjanjikan dialog perdamaian.

Sejumlah peserta tampil pada Karnaval Budaya Papua di  Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, Sabtu (10/08/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Gusti Tanati
Sejumlah peserta tampil pada Karnaval Budaya Papua di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, Sabtu (10/08/2024).

Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Sejak lama, wilayah Papua bukan wilayah yang tenang, pemerintah pusat pusing kepala cari cara meredam separatisme yang sekian lama membara di wilayah paling timur Indonesia tersebut. Bagaimana kondisinya sepanjang sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo?

Baca Juga

Periode itu dimulai dengan peristiwa berdarah. Pada 8 Desember 2014, warga sipil di Kabupaten Paniai, Papua  melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali.

Empat pelajar meninggal di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer. Seorang lainnya meninggal setelah mendapat perawatan di rumah sakit beberapa bulan kemudian. Sedikitnya 17 orang lainnya luka-luka.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah kejadian itu menyatakan, pemerintah akan menggunakan pendekatan lain di Papua. Ia menjanjikan adanya proses dialog antara pusat dan Papua terkait berbagai persoalan yang membelit wilayah tersebut.

"Saya melihat rakyat Papua tidak hanya butuh pelayanan kesehatan, tidak hanya butuh pelayanan pendidikan, tidak hanya pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan saja. Tapi, juga butuh didengar dan diajak bicara," kata Presiden Jokowi pada perayaan Natal Nasional di Lapangan Mandala, Kota Jayapura, pada 28 Desember 2014.

Lebih lanjut, ia mengatakan, kekerasan dan konflik yang marak terjadi di Papua juga harus disudahi. "Kita akhiri konflik. Jangan ada kekerasan, marilah kita bersatu. Yang masih di dalam hutan, yang masih di atas gunung-gunung, marilah kita bersama-sama membangun Papua sebagai tanah yang damai," lanjutnya.

Presiden menegaskan, dialog adalah jalan terbaik menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua. "Semua harus mau dialog, berbicara dengan masyarakat. Karena, dengan berbicara itulah kita bisa tahu betul akar masalahnya itu apa. Tetapi, saya meyakini, dengan sebuah dialog syukur bisa pendek, persoalan itu bisa selesai," kata Presiden.

Saat itu juga, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo saat itu menyatakan, pemekaran provinsi, kabupaten, dan kota di Papua yang sempat ia wacanakan ditunda. "Karena, setelah saya kalkulasi, pemekaran itu bukan jalan keluar untuk peningkatan kesejahteraan rakyat," katanya.

Seperti jadi pertanda, dua janji kala itu ambyar. Tak ada dialog damai hingga Jokowi selesai menjabat, konflik bersenjata di Papua makin berdarah-darah. Kemudian pada Juli 2022, Jokowi menekan pemekaran Provinsi Papua yang dilakukan tanpa berkonsultasi dengan Majelis Rakyat Papua.

photo
[ilustrasi] Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) berpose dengan latar bendera Bintang Kejora. - (Dok TPNPB)

Pada 2018, dua tahun setelah Jokowi menjabat, salah satu episode paling berdarah dalam konflik di Papua terjadi. Kelompok separatis membunuh 19 pekerja pembangunan jalan Trans-Papua di Nduga beserta seorang prajurit TNI. Ini kemudian memicu operasi keamanan besar-besaran di wilayah pegunungan Papua, memaksa ribuan warga Nduga mengungsi, ratusan diantaranya meninggal akibat kelaparan. 

Tak sampai setahun kemudian, pada 2019, insiden penting lainnya terjadi. Dua hari sebelum peringatan kemerdekaan RI tahun itu, sejumlah mahasiswa Papua di Jawa Timur, utamanya di Surabaya dan Malang melakukan unjuk rasa menuntut referendum di Papua. Aksi itu ditindak reaksi bukan hanya oleh aparat keamanan, namun juga sejumlah ormas. 

Tepat pada peringatan 17 Agustus 2019, sejumlah pihak menyambangi asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan terekam meneriakkan kata-kata rasialis. Seantero Papua kemudian membara dengan rerupa aksi unjuk rasa terkait insiden itu. Yang dilakukan pemerintah: mematikan akses internet, khususnya di Jayapura. Nantinya, pada Juni 2020, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan bahwa Presiden RI dan Menteri Komunikasi dan Informatika bersalah atas pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat yang dilakukan dalam kurun Agustus hingga September 2019.

Sebulan setelah rangkaian unjuk rasa, dipicu salah paham soal ucapan rasialis seorang guru di Wamena, Papua, sentimen kala itu berubah menjadi kerusuhan berdarah-darah. Sekitar 30 orang pendatang dibunuh dalam kerusuhan di Wamena pada 29 Agustus 2019.  Kerusuhan ini menandai periode kedua Jokowi yang kembali terpilih pada Pilpres 2019.

photo
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI Herman Asaribab (kiri) mengamati bangunan yang terbakar saat kerusuhan lalu di Pasar Wouma, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10/2019). - (ANTARA FOTO/Anyong)

Presiden Jokowi melayangkan tudingan pada kelompok separatis. "Ini adalah kelompok kriminal bersenjata yang dari atas di gunung turun ke bawah, dan melakukan pembakaran pembakaran rumah warga dan juga kepala suku Lembah Baliem di Wamena," ujar Jokowi kala itu. "Saya sudah perintahkan ke Menkopolhukam dan TNI, Polri, untuk mengejar perusuh yang belum tertangkap," katanya.

Sementara investigasi Republika di lapangan menunjukkan akar persoalan yang lebih kompleks. Ada marginalisasi secara ekonomi warga tempatan yang membuat kerusuhan gampang disulut. Tak ada aksi afirmasi dari pemerintah terkait hal itu.

Center for Strategic and International Studies (CSIS) membaca menguatnya intensitas konflik hingga jatuhnya korban jiwa di Papua kala itu. CSIS merinci eskalasi konflik Papua yang ditemukannya pada 2015 di angka 11. Jumlah ini trennya meningkat hingga mencapai puncak pada 2021 (139 konflik). Lalu eskalasinya menurun pada 2022 (105). 

Data kematian akibat konflik di Papua pada 2015 di angka 16. Jumlahnya berfluktuatif setiap tahun, dan mencapai angka tertinggi pada 2022 (228 kematian).

photo
Masyarakat adat Papua Barat dan aktivis lingkungan melakukan aksi unjuk rasa menentang ekspansi kelapa sawit yang mengancam hutan mereka di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024). - (EPA-EFE/ADI WEDA)

2022 itu juga jadi tahun signifikan terkait kebijakan pemerintah di Papua. Pada Januari 2022, aparat keamanan membentuk Satgas Damai Cartenz untuk menggantikan Satgas Nemangkawi. Ini seturut memburuknya kondisi keamanan di Papua dengan serangan-serangan kelompok separatis Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang makin gencar.

Pada 2022 tersebut, langkah drastis diambil pemerintah pusat dengan persetujuan DPR RI. Pada 25 Juli 2022 disahkan tiga Undang-Undang (UU) terkait pembentukan provinsi baru di Papua. Dengan disahkannya tiga UU tersebut, maka Papua terdiri dari lima provinsi, yaitu Provinsi Papua dengan ibu kota Jayapura, Provinsi Papua Barat dengan ibu kota Manokwari, Provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota Nabire, dan Provinsi Papua Pegunungan dengan ibu kota Jayawijaya.

Kebijakan ini menimbulkan keberatan di sebagian elemen masyarakat Papua yang keberatan karena Majelis Rakyat Papua (MRP) tak dilibatkan. Kebijakan pemekaran ini diujungtombaki Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang pernah menjabat sebagai kapolda Papua dan kepala Densus 88 Antiteror. Pertimbangnnya berbeda dengan saat mendagri terdahulu Tjahjo Kumolo mengatakan pada 2014 bahwa “pemekaran itu bukan jalan keluar untuk peningkatan kesejahteraan rakyat."

Tak lama kemudian, pada 2022 itu juga, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Wakil Presiden Ma'ruf Amin ditunjuk untuk memimpin badan pengarah ini. Badan pengarah yang bekerja di bawah Presiden ini bertugas melaksanakan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi percepatan pembangunan dan pelaksanaan Otonomi Khusus di wilayah Papua. Rencananya, Wapres dan sejumlah menteri negara bakal berkantor di Papua secara reguler. 

Pada akhirnya, akhir petualangan pemerintahan Joko Widodo di Papua bermula pada 7 Februari 2023 usai kelompok separatis bersenjata yang dipimpin oleh Egianus Kogoya membakar pesawat Susi Air dan kemudian menahan lima penumpang dan awak pilot di Bandara Paro, serta lima belas pekerja sipil lainnya di Kabupaten Nduga di Papua Pegunungan. Pilot yang disandera tersebut merupakan warga Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens. Upaya pembebasan Mehrtens berjalan lambat dan baru berhasil pada September 2024, sekitar 1,5 tahun setelah penculikan.

Setelah sepuluh tahun berjalan, dialog damai yang dijanjikan belum juga berlangsung. Kebijakan-kebijakan diambil pusat tanpa serius menengok pertimbangan dari Papua. Kelompok separatis masih beroperasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement