REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Babak belur peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya menjadi prestasi terburuk di bidang penegakan hukum dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemimpin utama lembaga pemberantasan korupsi, menjadi tersangka suap, gratifikasi, bahkan pemerasan.
Dua periode menjadi pemimpin utama di pemerintahan, Jokowi, dinilai tak mampu mengintervensi peran Polri agar menjadi lebih baik dan ‘berkualitas’ untuk masyarakat. Memang Jokowi, patut bangga dengan bangkitnya peran Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam pengusutan kasus-kasus korupsi superjumbo, dan kejahatan perekonomian.
Kejagung, sebetulnya, bukan lembaga utama dalam misi penumpasan pelaku-pelaku kejahatan yang merugikan keuangan negara itu. Melainkan adalah KPK, yang dikatakan oleh Ketua KPK Nawawi Pamolango, sebagai bayi kandung reformasi 1998. Nawawi mengatakan, KPK yang disiapkan sejak 1999 dan didirikan pada 2002 semestinya menjadi lembaga penegak hukum utama untuk menyapu bersih Indonesia dari korupsi. “Lembaga ini, dapat bisa menghancurkan segalanya (kejahatan korupsi),” kata Nawawi, Kamis (12/9/2024).
Sejarah memang pernah mencatat reputasi gemilang KPK. Tetapi, sejak 2014, masa awal-awal pemerintahan Jokowi, KPK mengalami pelemahan, melalui rongrongan politik yang luar biasa dari luar. Sampai pada kriminalisasi melalui aparat penegak hukum lainnya, bahkan teror.
Publik mencatat pada 2015, tentang kriminalisasi terhadap ketua dan komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto oleh Polri. Masyarakat, pun tentu segar memahami, penetapan tersangka terhadap dua pemimpin KPK ketika itu, aksi ‘balas hukum’ Polri atas penetapan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka korupsi. BG ketika itu kandidat tunggal ajuan Presiden Jokowi untuk menjadi Kapolri 2015. Dan Polri menetapkan Samad-Bambang dengan kasus usang, terkait keterangan palsu sengketa Pilkada 2010, dan pemalsuan dokumen untuk pembuatan paspor 2007.
Pada 2017, menjadikan penyidik-penyidik independen di KPK sebagai target aksi kriminal. Paling mengerikan yang dialami oleh penyidik utama KPK Novel Baswedan. Ia kehilangan mata kirinya akibat cacat permanen lantaran disiram air keras.
Pada tahun itu juga, usaha KPK mengusut megakorupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun terkait proyek KTP-Elektronik menjadikan KPK sebagai objek hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sepanjang 2014-2015 periode pertama kepemimpinan nasional Jokowi, pun mengalami stagnasi dalam indeks persepsi korupsi.
Pada 2019 di akhir-akhir masa jabatan periode pertama, sampai pada periode kedua kepresidenan Jokowi, fase pelemahan bahkan pembusukan KPK pun dimulai dari dalam. Presiden yang mengusulkan kepada DPR untuk ‘melucuti’ beberapa fungsi-peran KPK melalui beleid baru UU KPK 19/2019.
Hanya 12 hari saja UU tersebut rampung dan disahkan. Dan pada tahun itu juga, proses pemilihan para komisioner KPK oleh tim panitia seleksi (pansel) pilihan Jokowi, yang terbukti menghasilkan para ‘Avengers’ palsu dalam melawan ’Thanos’, para mafia, dan maling uang negara. Soal ‘Avengers’ palsu itu, bakal menyusul bukti peristiwanya.
Karena pada 2021 pembelahan yang dilanjutkan dengan penggusuran para pegawai, dan penyidik KPK oleh para pemimpin KPK dari hasil Pansel KPK pilihan Presiden Jokowi pun terjadi. Melalui bungkus indah tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat menjadi aparatur sipil negara (ASN) untuk melaksanakan UU KPK 19/2019, sebanyak 75 pegawai, dan penyidik KPK dinyatakan tak lolos, lalu dipecat dari KPK. Para pegawai yang dilabel tak punya wawasan kebangsaan lalu dipecat itu adalah mayoritas para penyidik-penyidik yang selama berdinas di KPK, dikenal sebagai pengungkap kasus-kasus korupsi kakap, termasuk Novel Baswedan.
Selepas itu, penilaian publik tentang KPK yang diawaki oleh para ‘Avengers’ palsu dari hasil Pansel KPK bentukan Presiden Jokowi mulai terbukti. Pada 2022 Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengundurkan diri. Apa sebab dia mengundurkan diri? Karena memang, terbukti tak punya integritas. Bahkan tak punya kompetensi sebagai salah-satu panglima utama dalam pemberantasan korupsi.
Lili diketahui, dan dikecam publik lantaran menerima uang akomodasi dan fasilitas senilai Rp 90 juta dari Pertamina untuk menonton balapan MotoGP Mandalika 2022. Tetapi pelanggaran etik yang dilakukan Lili itu bukan kali pertama.
Pada 2021, Dewan Pengawas (Dewas) KPK pernah menyatakan Lili melanggar etik. Lili terbukti melakukan komunikasi dengan pihak yang menjadi objek penyidikan korupsi KPK di Tanjung Balai, Sumatera Utara (Sumut). Tetapi Dewas KPK cuma menghukum Lili dengan potong gaji 40 persen selama 12 bulan.
Pada tahun itu juga, Lili dilaporkan ke Dewas KPK lantaran perihal sama berkomunikasi dengan pihak yang sedang dalam penyidikan korupsi oleh KPK di Labuhanbatu Utara, Sumut. ‘Avengers’ palsu berikutnya di KPK adalah Ketua KPK Firli Bahuri.
Dia adalah jenderal bintang tiga dari kepolisian. Firli Bahuri ini bukan orang baru di KPK. Dia pernah bertugas di KPK pada 2018 sebagai Deputi Penindakan. Tetapi tugasnya di KPK waktu itu, pun 'cacat'.
Firli pernah dinyatakan melanggar etik karena melakukan komunikasi dengan pihak yang sedang dalam penyidikan korupsi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pelanggaran etik ketika itu, berujung pemulangan Firli ke Polri. Pada 2019, Firli ikut seleksi calon pemimpin (capim) KPK dari jalur Polri. Dan diloloskan oleh Tim Pansel KPK bentukan Presiden Jokowi. Lalu DPR menyetujui, dan Firli berhasil menjadi ketua KPK.
Para aktivis dan pegiat antikorupsi, sebetulnya sudah bolak-balik mengingatkan Tim Pansel KPK 2019 agar tak meloloskan Firli. Dan berkali-kali juga mengingatkan Presiden Jokowi, pun juga Komisi III DPR agar menolak nama Firli. Tetapi, memang hanya di masa pemerintahan Presiden Jokowi, ragam masukan-kritik para pegiat antikorupsi didengarkan saja.
Dan akhirnya, pada 2023, Firli menjadi tersangka korupsi. Sejak KPK berdiri 2002, baru pada masa Presiden Jokowi ini, ada komandan utama pemberantasan korupsi tetapi menjadi tersangka korupsi.
Firli terjerat kasus pemerasan, suap, dan penerimaan gratifikasi dalam pengusutan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Firli ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas kasus korupsi yang menyeret Mentan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka di KPK.
Kasus yang menjerat Firli sebagai tersangka korupsi oleh kepolisian tersebut, saat Kapolda Metro Jaya dijabat oleh Irjen Karyoto. Karyoto ini, mantan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK. Karyoto, bekas bawahan Firli di KPK pada 2020.
Tetapi pada 2023, Firli memulangkan Karyoto ke Polri lantaran menolak peningkatan kasus. Dugaannya ketika itu, Karyoto menolak menandatangani surat perintah penyidikan dugaan korupsi Formula E DKI Jakarta 2022. Kasus dugaan korupsi tersebut, sempat menyeret nama mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan yang saat itu, salah-satu kandidat calon presiden dalam Pilpres 2024. Namun terkait kasus korupsi Firli yang ditangani oleh Polda Metro Jaya itu, pun sudah satu tahun mangkrak.
Pihak kepolisian, hingga kini tak kunjung melakukan penahanan. Kepolisian pun tak juga tuntas merampung berkas perkaranya untuk dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) agar Firli disidangkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor).
Mangkraknya kasus Firli di kepolisian itu, pun akhirnya membawa spekulasi publik. Bahwa kasus tersebut, cuma aksi-aksi dalam simpul-simpul politik kepentingan banyak pihak, dan penguasa di sekeliling pemerintahan Presiden Jokowi. Karena Firli, sebelum dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya, dan sebelum mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua KPK, beberapa kali menjanjikan akan melakukan penangkapan terhadap salah-satu buronan KPK yang sejak 2020 melarikan diri. Yakni Harun Masiku yang hingga kini, pun belum berhasil ditangkap.
Sebelum tumbang dari KPK, Firli sebetulnya sudah mencoba diri untuk tampil ‘keren’. Ia beberapa kali mengusut perkara-perkara korupsi besar yang menyeret beberapa menteri di kabinet Presiden Jokowi. Seperti dalam kasus korupsi Bansos Covid-19 yang menyeret Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara ke penjara. Dan juga dalam kasus korupsi ekspor benur yang menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo ke hotel prodeo.
Namun begitu, KPK tetap saja sudah bukan lagi menjadi lembaga penegak hukum yang dipercaya publik. Dalam lima tahun terakhir, setelah Presiden Jokowi menyetujui perevisian UU KPK pada 2019, dan lolosnya para ‘Avangers’ palsu ke struktur pemimpin di KPK, lembaga penegak hukum yang mulanya superbody, dan paling dipercaya itu, sudah tak lagi diandalkan publik dalam menangani kasus-kasus korupsi.
Bahkan, sejak 2019, di era kepemimpinan Firli Bahuri, KPK, di mata masyarakat sudah menjadi ‘Kantor Polisi Kuningan’. Pun dalam banyak survei, KPK ditempatkan sebagai lembaga penegak hukum dengan rating terendah.
Posisinya bergantian dengan Polri, pada angka 62 sampai 70-an persen pada tingkat kepercayaan publik. Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo pernah mengungkapkan soal dugaan intervensi ke KPK ini.
“Saya terus terang pada waktu kasus E-KTP, saya dipanggil sendirian oleh Presiden (Jokowi). Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara). Jadi, saya heran, biasanya manggil (pemimpin KPK) berlima, ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan. Tetapi lewat masjid kecil,” kata Agus dalam salah-satu wawancaranya di televisi. “Begitu saya masuk, presiden sudah marah. Karena baru saya masuk, beliau sudah teriak, ‘hentikan!’,” cerita Agus.
Ketua KPK 2015-2019 itu, mengaku bingung apa soal Presiden Jokowi teriak. “Setelah saya duduk, saya baru tahu, kalau yang disuruh hentikan itu, adalah kasus Setnov, Ketua DPR pada waktu itu, mempunyai kasus E-KTP,” ungkap Agus.
Tetapi Agus, tetap melanjutkan pengusutan kasus tersebut. Alasannya, karena surat perintah penyidikan (sprindik) sudah diterbitkan. Dan pada saat itu, UU KPK sebelum direvisi pada 2019, KPK tak bisa menghentikan penanganan perkara dengan penerbitan SP3. Kasus tersebut, pun berlanjut dengan menyeret Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka, dan dijebloskan ke penjara selama 15 tahun. Baru pada UU KPK 19/2019, KPK didesak untuk memiliki kewenangan menerbitkan SP3 atas satu penanganan perkara korupsi.