REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana mogok sidang yang akan dilakukan oleh para hakim pada Oktober 2024 mendatang, dinilai sebagai bentuk penurunan martabat para ‘wakil Tuhan’. Pengamat Hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, cara para hakim dalam memprotes kompensasi pengupahan fungsi dan tugasnya, tak semestinya dilakukan dengan cara-cara mogok, ataupun menyuarakan seruan untuk beramai-ramai menolak bersidang.
Menurut Fickar, profesi hakim merupakan puncak tertinggi dari pengabdian terhadap negara, dan masyarakat. Posisi hakim yang berada di ranah yudikatif, sebagai pengadil, pemutus perkara, dan permasalahan hukum dalam bernegara, menuntutnya untuk punya intelektualitas setinggi langit dan kebijaksanaan yang penuh. Karena itu, menurutnya, mogok yang disuarakan para hakim, menggambarkan bobroknya intelektualitas dan kebijaksanaan para hakim yang menyerukan aksi menolak bersidang.
“Hakim itu profesi mulia. Hakim itu, profesional yang memiliki ranah tersendiri dalam kekuasaan bernegara. Kalau dia kemudian mogok, dia menurunkan derajatnya sebagai buruh. Kalau dia mogok, dia menurunkan serendah-rendahnya derajatnya sebagai kuli-pekerja,” kata Fickar saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (27/9/2024).
Fickar memahami seruan mogok bersidang para hakim tersebut, lantaran terkait dengan pengupahan untuk penghidupan yang tak lagi sesuai. Namun begitu, kata Fickar, profesionalitas dan intelektualitas yang ada dalam kehidupan seorang hakim, menuntut mereka untuk menyampaikan protesnya atas pengupahan itu, dilakukan dengan cara-cara yang agung, sekaligus mulia.
“Hakim itu, strata tertinggi dalam intelektualitas. Bukan begitu (mogok) cara berjuangnya. Cara-cara seperti itu (mogok) kelasnya buruh. Kelasnya pekerja. Itu (mogok) menurunkan wibawa dari seorang hakim,” ujar Fickar.
Kata Fickar, sebagai profesional di wilayah yudikatif, yang saban harinya memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum atas semua permasalahan bernegara, dan bermasyarakat, protes atas pengupahan para hakim tersebut semestinya dilakukan dengan ‘perang’ akademik, dan intelektualitas. Kata Fickar, bisa melalui dialog bersama-sama pemerintah eksekutif, dan pembuat undang-undang di wilayah legislatif.
“Bukan dengan cara mogok. Cara-cara mogok seperti itu, kalau dilakukan hakim, itu adalah cara-cara yang kampungan. Bahkan cara-cara mogok seperti itu, itu hakimnya yang bodoh,” ujar Fickar.
Karena itu, menurut Fickar, tak sepatutnya para hakim menyerukan untuk melakukan aksi protesnya dengan mogok, ataupun menolak bersidang. Kata dia, agar para hakim lebih bijaksana, dan paham dengan posisinya sebagai wakil Tuhan di muka Bumi.
“Hakim harus paham betul bahwa profesinya itu adalah profesi yang sangat mulia. Kita memahami apa yang diprotes mereka soal penghidupan. Tetapi, mereka (para hakim) seharusnya tidak menyelesaikannya dengan cara-cara mogok menolak bersidang. Itu sangat tidak patut. Sebagai pemutus perkara, hakim-hakim itu seharusnya mengandalkan intelektualitasnya untuk melakukan protes,” begitu ujar Fickar.
Sebelumnya diberitakan, para hakim berencana untuk mengambil cuti serempak pada 7 sampai 11 Oktober 2024 mendatang. Cuti ramai-ramai itu, dikatakan sebagai bentuk mogok bersidang.
Juru Bicara Gerakan Solidaritas Hakim Fauzan Arrasyid dalam siaran persnya, Kamis (26/9/2024) mengatakan, mogok bersidang oleh para hakim tersebut sebagai protes atas tuntutan penyesuaian gaji dan tunjangan para hakim. Menurut dia, gaji para hakim saat ini, belum dilakukan penyesuaian selama 12 tahun. Kondisi tersebut, membuat para hakim tak mampu untuk membiayai penghidupannya.