Meskipun Presiden Prancis saat ini, Emmanuel Macron, telah berulang kali menyerukan gencatan senjata di Gaza dan mengutuk serangan terhadap warga sipil, namun deklarasi tersebut tampaknya gagal diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif dan menggunakan cara-cara yang dimiliki Prancis untuk menekan Israel.
Pada bulan Juni, ketika ditanya tentang kemungkinan Prancis mengakui negara Palestina, mengikuti jejak beberapa negara Eropa seperti Spanyol, Norwegia, dan Irlandia, Macron menjawab bahwa hal itu bukanlah “solusi yang tepat”.
“Tidak masuk akal untuk melakukannya sekarang. Saya mengecam kekejaman yang kami lihat dengan kemarahan yang sama seperti rakyat Prancis. Tetapi kami tidak mengakui negara yang didasarkan pada kemarahan,” tambahnya.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan media investigasi juga mengkritik kurangnya transparansi seputar penjualan senjata Prancis ke Israel.
Pekan lalu, sebuah artikel dari media Prancis, Mediapart, meneliti “jutaan euro senjata Prancis yang dikirim ke Israel”.
Menurut laporan kementerian pertahanan kepada parlemen yang diperoleh Mediapart, Prancis mengirimkan peralatan militer senilai €30 juta ($33 juta) ke Israel pada tahun 2023.
Namun, karena laporan tersebut tidak menyebutkan bulannya, media tersebut mencatat bahwa tidak mungkin untuk menentukan apakah pengiriman ini berlanjut setelah serangan Israel ke Gaza dimulai pada 7 Oktober, dan menambahkan bahwa Kementerian Angkatan Bersenjata tidak dapat mengklarifikasi masalah ini.
Sementara itu, para aktivis di negara itu telah mengutuk peningkatan penindasan terhadap suara-suara pro-Palestina sejak 7 Oktober, dengan ratusan investigasi yang diluncurkan terhadap komentar-komentar mengenai konflik Israel-Palestina di bawah apa yang disebut sebagai pelanggaran “permintaan maaf atas terorisme”.
Sumber: middleeasteye