Rabu 21 Aug 2024 11:05 WIB

Pakar UGM Cium Gelagat Anulir Putusan MK 60 di DPR, Siap Serukan Aksi Pembangkangan

Putusan MK dinilai tidak bisa dianulir oleh DPR maupun pemerintah.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Mahkamah Konstitusi
Foto: Amin Madani/Republika
Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR), dan pemerintah dinilai tak bisa menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 60/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk pemilihan kepala daerah (pilkada).

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona mengatakan, jika penganuliran itu terjadi, patut dinilai sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Masyarakat, kata dia perlu melawan sikap legislatif, dan eksekutif tersebut, dengan turut melakukan pembangkangan massal.

Baca Juga

“Kita mendengar informasi, hari ini Baleg DPR akan rapat membahas putusan MK, dan kemungkinan akan menganulir putusan MK yang sudah baik merasionalisasikan ambang batas untuk pilkada itu. Jika itu benar terjadi (menganulir putusan MK), bahwa itu sebenarnya adalah pembangkangan terhadap konstitusi,” kata Yance saat dihubungi Republika, dari Jakarta, Rabu (21/8/2024).

“Dan masyarakat, harus melawan pembangkangan itu dengan turut juga melakukan pembangkangan. Karena ini sudah menyangkut soal integritas dari negara hukum, dan demokrasi,” begitu ujar Yance.

Yance mengatakan, tak ada kewenangan DPR, maupun pemerintah dalam menganulir putusan MK. Justru sebaliknya, MK yang memiliki kewenangan berdasarkan Undang Undang Dasar (UUD) untuk menganulir, atau mengevaluasi, pun memperbaiki produk legislasi DPR bersama pemerintah yang dinilai tak konstitusional.

“Jadi ini jangan dibalik-balik. Ini kok malah DPR dan pemerintah yang mau menganulir putusan MK. Jelas itu salah,” kata Yance.

Penolakan DPR, maupun pemerintah atas putusan MK, dengan memaksa untuk mengembalikan aturan main ambang batas dalam pilkada ke sistem yang lama, pun tak dapat dilakukan. Karena, kata Yance, MK sudah memberikan putusan yang evaluatif demi proses yang lebih adil dan esensial bagi masyarakat dalam pelaksanaan pesta demokrasi seperti pilkada.

Jika DPR, maupun pemerintah masih ngotot untuk menganulir putusan MK dengan mengembalikan ambang batas lama melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada 2016, kondisi tersebut, kata Yance, merupakan bentuk dari sikap bebal dari gabungan kekuasaan di DPR dan pemerintah.

“Ini yang disebut sebagai otokratik legalism, atau yang disebut penggunaan hukum oleh penguasa untuk hanya mementingkan kekuasaannya,” ujar Yance.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement