Para pemimpin dunia — termasuk Kanselir Jerman Friedrich Merz dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva —berjumpa di Kota Belem, Brasil. Pertemuan Kamis (06/11) dan Jumat (07/11) ini menjadi pembuka menuju Konferensi Iklim PBB COP30.
(Ed: COP Adalah Konferensi Para Pihak dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) — atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.)
Tahun ini, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim tersebut berlangsung di jantung Hutan Amazon — kawasan yang sangat rentan sekaligus vital bagi kestabilan iklim global — di tengah tekanan besar untuk mengendalikan kenaikan emisi dan suhu bumi yang memicu cuaca ekstrem mematikan di berbagai belahan dunia.
Jerman dan Inggris termasuk di antara kurang dari 60 negara yang mengirimkan kepala negaranya, sementara Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen juga dijadwalkan hadir.
Kepemimpinan lebih penting dari sebelumnya
Meski pertemuan ini tidak diharapkan menghasilkan solusi konkret secara langsung, Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman, Johan Rockström menegaskan bahwa forum tersebut sangat penting untuk menentukan arah negosiasi COP mendatang. "Tidak akan ada Perjanjian Paris tanpa KTT para pemimpin dunia terlebih dahulu,” paparnya.
Rockström menambahkan, kehadiran tokoh seperti Angela Merkel dan Barack Obama dulu pun sangat krusial dalam mendorong lahirnya Perjanjian Paris 2015, di mana negara-negara bersepakat menahan kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C di atas tingkat praindustri. Menurutnya, para negosiator akan melihat hasil KTT ini sebagai "bintang utara” yang akan menjadi panduan dalam perundingan COP30.
Namun, ketegangan geopolitik, beragam konflik bersenjata, ketidakpastian ekonomi akibat tarif AS, serta penarikan Amerika Serikat dari Perjanjian Paris dan kebijakan energi bersih oleh Presiden AS Donald Trump, menjadikan pertemuan tahun ini berlangsung dalam situasi global yang sangat menantang.
Direktur Eksekutif lembaga kajian iklim independen E3G di Jerman, Marc Weissgerber menegaskan: "KTT ini menjadi semakin penting karena kondisi geopolitik dan ekonomi yang rapuh. Negara, industri, investor, bahkan masyarakat kini tidak yakin arah dunia akan ke mana.”
Kesempatan untuk mengubah jalur emisi
Lien Vandamme, kampanye senior untuk hak asasi manusia dan perubahan iklim di Center for International Environmental Law, mengatakan nada yang perlu ditegaskan dalam KTT ini adalah "mengoreksi arah”. Menurutnya, negara-negara maju harus menunjukkan peningkatan besar dalam ambisi dan tanggung jawab untuk menurunkan emisi sesuai dengan target Perjanjian Paris.
Menjelang COP30, baru sekitar sepertiga negara yang telah menyerahkan target nasional penurunan emisi mereka. Jika digabungkan, target tersebut baru setara dengan pemotongan 10% emisi hingga 2035 — hanya seperenam dari tingkat pengurangan yang direkomendasikan ilmuwan.
Rockström memperingatkan bahwa para pemimpin harus mengirimkan pesan politik yang kuat, mengakui bahwa dunia sedang "menuju jalan bencana.”
Menurut PBB, kebijakan iklim saat ini akan membawa dunia pada kenaikan suhu lebih dari 3°C pada akhir abad ini — kondisi yang disebut Rockström sebagai "tak terkelola bagi umat manusia di Bumi.”
Menegaskan kembali target 1,5°C dari Perjanjian Paris
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pekan lalu menyatakan bahwa dunia "nyaris pasti akan melampaui” batas 1,5°C dengan konsekuensi yang "menghancurkan”. Para ilmuwan menilai batas tersebut sebagai garis pertahanan terakhir terhadap dampak perubahan iklim yang paling parah dan tak dapat dipulihkan.
Rockström menekankan pentingnya para pemimpin meneguhkan kembali komitmen terhadap target suhu global tersebut. "Yang saya khawatirkan — dan tidak boleh terjadi — adalah munculnya wacana untuk menyerah pada batas 1,5°C,” ujarnya. Ia menambahkan, melampaui batas bukan alasan untuk menghapusnya, seperti halnya melanggar batas kecepatan tidak berarti aturan lalu lintas harus dihapus.
Para pemimpin, katanya, perlu mengakui kegagalan sekaligus berjanji untuk meminimalkan pelanggaran target. "Itu akan sangat membantu jalannya negosiasi nanti,” ujarnya.
Komitmen nyata untuk pembiayaan iklim
Weissgerber menyoroti kebutuhan mendesak akan komitmen nyata dalam pendanaan adaptasi iklim, yang saat ini "masih sangat kekurangan dana". Ia berharap para pemimpin memberikan sinyal jelas bagaimana mereka akan meningkatkan pendanaan menjadi 300 miliar dolar AS pada tahun 2035, sesuai kesepakatan di konferensi iklim tahun lalu di Baku. Dana ini ditujukan untuk membantu negara berkembang menghadapi bencana iklim dan beralih ke energi bersih.
Selain itu, ada harapan agar pertemuan kali ini mendorong implementasi "Peta Jalan Baku–Belem”, yang menargetkan pengumpulan dana publik dan swasta sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun hingga 2035 guna mendukung adaptasi dan pembangunan rendah karbon di negara berkembang.
Carsten Elsner, peneliti energi dari Wuppertal Institute di Jerman, menambahkan bahwa inisiatif unggulan Brasil, Tropical Forest Forever Facility (TFFF), kemungkinan akan menjadi sorotan utama dalam pembahasan.
Dana konservasi global senilai 125 miliar dolar AS ini akan membayar negara-negara berdasarkan keberhasilan mereka melindungi hutan. Menurut Elsner, skema ini bisa menarik bagi sejumlah negara donor karena menjanjikan imbal hasil investasi, berbeda dengan hibah iklim konvensional. "Saya rasa banyak negara akan mendukungnya... inisiatif ini bisa menyatukan beberapa negara dalam satu koalisi,” paparnya.
Memperkuat kerja sama global
Para pakar menilai, salah satu tantangan utama KTT ini adalah mengatasi perpecahan politik dan menurunnya kerja sama internasional. Vandamme menyebut pertemuan ini sebagai peluang bagi para pemimpin untuk menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap sistem global masih ada, meski dunia tengah dilanda krisis multilateralisme.
Ia menegaskan, rezim iklim global harus membuktikan kemampuannya memberikan solusi nyata terhadap krisis iklim. Menjelang KTT, juru bicara Kementerian Lingkungan Hidup Jerman mengatakan bahwa dengan meningkatnya tekanan terhadap prinsip kerja sama internasional, acara ini menjadi kesempatan untuk menunjukkan bahwa mayoritas negara di dunia masih ingin bekerja bersama menghadapi perubahan iklim.
Dengan Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris, Weissgerber menilai KTT ini juga akan menjadi ajang lahirnya "aliansi baru”, di mana Brasil, Uni Eropa, Inggris, dan Cinadiperkirakan akan mengambil peran kepemimpinan yang lebih besar.
Vandamme menambahkan, para pengamat juga akan memperhatikan apakah para pemimpin dunia menanggapi pendapat hukum bersejarah dari Mahkamah Internasional (ICJ) mengenai kewajiban negara dalam menghadapi perubahan iklim.
Putusan yang dikeluarkan Juli lalu itu bisa membuka jalan bagi negara-negara terdampak berat untuk menuntut kompensasi dari negara penghasil emisi besar.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Rizki Nugraha