Kamis 06 Jun 2024 09:39 WIB

Dulu Volkshuisvesting kini Tapera, Jatuh Bangun Perumahan Rakyat

Belum ada program ampuh mengatasi krisis perumahan sejak masa kolonial.

Perumahan di Kampung Sekip di Medan, 1921-1925. Perumahan ini salah satu yang benar-benar ditujukan untuk kaum miskin.
Foto: Tropenmuseum
Perumahan di Kampung Sekip di Medan, 1921-1925. Perumahan ini salah satu yang benar-benar ditujukan untuk kaum miskin.

REPUBLIKA.CO.ID, Upaya penyediaan rumah murah bukan barang baru di Tanah Air. Sejak masa kolonial hingga Orde Baru, berbagai program dirancang, dijalankan, dan gagal di tengah jalan.

Perumahan umum pertama kali dimulai pada tahun 1913 oleh pemerintah kota Batavia yang membangun 54 rumah di Tamansari. Beberapa kota-kota lain mengikuti dan mendirikan gemeentelijke woningbedrijven (otoritas perumahan) dengan berbagai nama resmi, dengan tujuan mengurangi kekurangan perumahan. 

Baca Juga

Ditulis Freek Colombijn dalam jurnalnya Public housing in post-colonial Indonesia (2011), pada 1929, lebih dari 3.000 rumah telah dibangun atau dibangun sedang dibangun berdasarkan skema ini. Terlepas dari semua upaya yang dilakukan, lambat laun pemerintah kota menyadari bahwa tidak tersedia cukup rumah bagi kelompok berpendapatan rendah. Badan Perumahan Rakyat Medan adalah salah satu organisasi yang dengan tulus berupaya melakukan pembangunan untuk masyarakat miskin, namun ternyata yang paling murah sekalipun di Kampung Sekip terlalu mahal untuk kelompok berpendapatan rendah.

Pada 1922 dan 1925 perwakilan pemerintahan kotamadya di seluruh Nusantara ( sebagian besar dari Jawa) menyelenggarakan dua kongres untuk berdiskusi perumahan rakyat. Hasil dari konferensi ini adalah pendudukan kolonial menerimanya tanggung jawabnya untuk mengambil peran utama dalam perumahan umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

Pada 1925, pemerintah pusat Hindia Belanda mendukung administrasi kota mendirikan NV Volkshuisvesting (Perusahaan Perumahan Rakyat). Perusahaan Perumahan Rakyat membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk memperoleh tanah dan menarik modal untuk perumahan. Pemerintah pusat menyumbangkan 75 persen modal dan pemerintah kota 25 persen. Pada 1930, terdapat 16 kota, 13 di antaranya berada di Pulau Jawa, mendirikan Volkshuisvesting. 

Pemerintah pusat dan daerah tidak pernah bermaksud untuk menanggung beban terbesar biaya perumahan dan biasanya tidak membayar seluruh modal. Akibatnya, persediaan modal tidak mencukupi maka korporasi didirikan dan dana tambahan harus dicari. Bentuk perseroan terbatas dipilih untuk memungkinkan setiap NV Volkshuisvesting untuk meminjam uang di pasar modal. Mereka bisa bernegosiasi suku bunga rendah, karena pemerintah pusat menjamin pengembaliannya pinjaman. 

Lebih dari 2.500 rumah dibangun oleh gabungan NV Volkshuisvesting korporasi hingga 1932.  Depresi Akbar pada 1930-an kemudian mengandaskan program tersebut. Selain itu, menurut Colombijn perumahan umum kolonial terlalu mahal bagi masyarakat berpendapatan rendah, juga memiliki desain yang tak praktis untuk masyarakat berpendapatan rendah.

Kedatangan Jepang pada 1942 kemudian memangkas upaya tersebut. Pada masa setelah kedatangan itu, Jepang membentuk Panitia Adat dan Tatanegara Organisasi Pemerintahan. Komite yang dijanjikan kemerdekaan itu membicarakan isu-isu seperti pengangguran, pendidikan, kesehatan masyarakat, pangan, dan sandang. Sementara krisis perumahan yang dialami pribumi dan kaum miskin dibahas dalam pertemuan terakhir Komite pada Oktober 1943.

photo
Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-14 Juli 1945. - (wikipedia)

Colombijn mencatat, Kyai Haji Mas Mansoer membuka perdebatan dengan menarik perhatian situasi perumahan yang mengenaskan bagi pribumi. Solusi untuk masalah tersebut, menurutnya, adalah membangun banyak rumah dengan biaya murah dengan standarisasi desain dan produksi massal elemen bangunan di tempat-tempat sentral.

Rumah harus dibangun dari bahan yang murah dan mudah didapat. Berbeda dengan vila kolonial, dindingnya harus terbuat dari anyaman bambu atau bubur kertas daur ulang. Penggunaan semen dan paku sebaiknya dihindari.

Sukarno, pembicara kedua, mendukung gagasan Mansoer. Hatta menawarkan dua gagasan lain. Yang pertama adalah mendirikan asosiasi, yang mana akan menjual tempat tinggal kepada masyarakat biasa melalui sistem sewa beli; perkumpulan semacam itu dapat mencontoh perkumpulan serupa di masa kolonial yang sebelumnya hanya melayani kelas menengah. 

Usulan kedua adalah untuk mendirikan asosiasi insinyur dan ahli teknis lainnya dengan pendidikan formal, meniru asosiasi kedokteran yang baru didirikan para dokter. Sedangkan Oto Iskandar Dinata menganalisis buruknya kondisi sanitasi di kampung perkotaan yang disebabkan oleh kebijakan kolonial yang diskriminatif. Perbaikan kampung adalah salah satu solusinya dan jika perlu, kampung-kampung harus dibongkar terlebih dahulu agar pembangunan kembali bisa dilakukan dengan lebih luas.

Pada akhirnya, Jepang tak sempat menuntaskan dan menjalankan ide-ide tersebut. Kondisi perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah tetap memprihatinkan.

Setelah kemerdekaan, upaya menyediakan perumahan murah dimulai pada 1950-an melalui sistem koperasi Yayasan Kas Pembangunan yang diusulkan menteri ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah presiden terpilih Prabowo Subianto. Sistemnya, modal awal untuk membangun perumahan didapatkan dari pemerintah pusat. Setelah itu, masyarakat dapat menyisihkan uang dan menyalurkannya pada Yayasan Kas Pembangunan untuk mengakses perumahan rakyat. Fasilitas itu kebanyakan hanya dinikmati PNS yang tak jarang menjual lagi rumahnya. Krisis ekonomi juga akhirnya mengandaskan program itu.

 

Bagaimana pada masa Orde Baru?... baca halaman selanjutnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement