REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P, Eva Rianti
Pemerintah berencana memotong upah pekerja untuk program tabungan perumahan rakyat (Tapera). Namun, rencana itu tak mendapat restu dari para pekerja lantaran tidak banyak memberikan manfaat bagi mereka.
Salah seorang pegawai swasta, Harell (24 tahun), mengaku tidak setuju apabila upahnya dipotong untuk program pemerintah tersebut. Pasalnya, upahnya sebagai pekerja relatif pas-pasan. Belum lagi, selama ini sudah banyak potongan dari upah yang diterimanya setiap bulan.
"Udah ada PPh (pajak penghasilan), potongan BPJS, tambah lagi Tapera. Sudah hampir 10 persen potongan doang," kata dia, Rabu (5/6/2024).
Ia menilai, program itu juga tidak akan memberikan banyak manfaat baginya. Sebab, uang yang dipotong untuk Tapera itu tak akan cukup untuk membangun rumah di masa pensiunnya mendatang.
"Saya juga sudah hitung, dalam 50 tahun itu cuma beberapa juta. Nggak bakal cukup buat bikin rumah," ujar dia.
Salah seorang pekerja lainnya, Tyo (29), juga menolak upahnya dipotong untuk program Tapera. Pasalnya, tidak jelas pihak yang akan menerima manfaat dari program itu. Sementara kaum pekerja masih akan sulit untuk memiliki rumah.
"Jadi enggak relevan. Yang dipotong siapa, programnya buat siapa," kata dia.
Ia juga khawatir program itu tidak tepat sasaran. Apalagi, banyak kasus korupsi dari program-program serupa yang sudah-sudah.
Seorang pekerja lainnya, Andio (31), juga tidak setuju dengan adanya potongan dari upahnya untuk program Tapera. Pasalnya, buruh bukanlah orang yang bisa dikatakan mampu untuk membeli hunian. Namun, para buruh juga belum tentu mendapatkan manfaat dari program tersebut.
"Orang dengan pendapatan UMR/UMP belom bisa dikategorikan mampu untuk memiliki rumah," kata lelaki yang bekerja di sektor percetakan itu.
Menurut Andio, program rumah subsidi yanh ada saat ini sudah bagus. Namun, dalam praktiknya rumah subsidi banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang memiliki penghasilan tinggi dengan dalih investasi.
"Harusnya program itu yang dibenahi" ujar dia.