Jumat 17 May 2024 17:15 WIB

JPPI: Kembalikan Pendidikan Sebagai Public Goods, Jangan Jadi Kebutuhan Tersier! 

JPPI minta evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong PTN menjadi PTN-BH

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pendidikan tinggi (ilustrasi). Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta pemerintah untuk mengembalikan pendidikan sebagai public goods atau barang publik.
Foto: Blogspot.com
Pendidikan tinggi (ilustrasi). Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta pemerintah untuk mengembalikan pendidikan sebagai public goods atau barang publik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta pemerintah untuk mengembalikan pendidikan sebagai public goods atau barang publik. Pendidikan, terutama pendidikan tinggi, semestinya dipandang seperti itu, bukan sekadar kebutuhan tersier sebagaimana Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

“Mengapa harus public good, dan bukan kebutuhan tersier? Jelas karena pendidikan adalah menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi,” tutur Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji lewat keterangannya, Jumat (17/5/2024).

Menurut Ubaid, yang bertanggung jawab atau diamanahkan untuk memenuhi kebutuhan itu sejatinya jelas termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4. Di mana, di sana dinyatakan, salah satu tujuan utama berdirinya NKRI adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

“Pemerintah sebagai pengemban amanah ini harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat soal agenda ini,” ucap dia.

Dia mengatakan, dalam rangka menuju bangsa yang cerdas dan berdaya saing global, tentu pendidikan hinga SMA/SMK saja tidak cukup. Anak-anak Indonesia harus bisa mendapatkan layanan pendidikan hinggi perguruan tinggi. Karena itu, peran dan keberpihakan pemerintah sangat penting.

Sebab itu, dia menekankan, negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi. Hal itu, kata dia, harus dilakukan pemerintah supaya setiap warga negara mendapat kesempatan sama dan tidak berkompetisi saling mengalahkan dalam mengaksesnya.

Untuk itu juga, JPPI memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, Kemendikburistek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan meletakkannya sebagai kebutuhan tersier. Sebab itu akan menyalahi amanah UUD 1945. 

Kedua, DPR RI, Kemendikbudristek, bersama masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong PTN menjadi PTN-BH yang jelas berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT. Sebab pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan, lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT.

“Kemendikbudristek harus cabut Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT,” ujar dia.

Ketiga, pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah. Dia meminta pimpinan kampus untuk tidak melakukan persekusi dan intimidasi terhadap mahasisa yang sedang berpendapat di muka umum.

“Juga, pimpinan kampus harus memsperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan menyusun kembali besaran UKT disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa,” tutur dia.

JPPI juga meminta para guru besar di kampus untuk tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT ini. Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara.

“Dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis,” ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement