REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden RI terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto dinilai tak perlu menskrining calon menteri jelang menjabat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu pernah dilakukan Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 ketika baru terpilih menjadi Presiden RI.
"Kalau kamu tanya saya pribadi, enggak (perlu) Ngapain gitu-gituan, dzalim lho orang distabilo, kalau terbukti ambil (tangkap kalau terbukti korupsi). Ini menurut saya, saya waktu itu (2014) belum masuk KPK," kata Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan kepada wartawan dikutip pada Rabu (24/4/2024).
Pahala menilai tindakan itu bakal memberi efek negatif bagi nama calon menteri. Dengan demikian, Pahala tak setuju kalau menskrining guna menentukan menteri kabinet.
"Lo distabilo, ini pidana lho. Kalau emang ada bukti ambil jangan duga menduga, nasib orang berhenti," ujar Pahala.
Pahala menegaskan akan menolak kalau Prabowo-Gibran meminta menskrining calon menteri. Pahala menyampaikan tindakan tersebut akan berdampak buruk bagi calon menteri yang diskrining.
"Tapi kalau ada pun saya di ratas (rapat terbatas) bakal nolak, jangan dong. Ini pidana, kalau dibilang ukurannya normatif boleh tapi kan ini pidana salah atau ngga. Dengan stabilo artinya bersalah, kau bersalah kan udah ada jalurnya ambil orangnya," ujar Pahala.
Daripada pengecekan calon menteri, Pahala sudah menyetorkan rekomendasi kepada para capres yang berisi delapan poin. Salah satunya ialah meminta penguatan pelaksanaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) untuk pencegahan korupsi.
"Kalau dia instansinya, kementeriannya enggak mencapai 100 persen (kepatuhan) LHKPN-nya tegur menterinya. Kalau menterinya enggak (patuh LHKPN) copot," ucap Pahal.
Tercatat, Presiden Jokowi ketika terpilih pada Pilpres 2014 sempat menyetorkan sejumlah nama calon menteri ke KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Hal itu guna pengecekan rekam jejaknya. Total ada 43 nama untuk mengisi 33 pos menteri kala itu.