REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan sejumlah pekerjaan rumah (PR) bagi penyelenggara pemilu. Pekerjaan rumah itu seperti perbaikan dalam sistem rekapitulasi.
"Melalui putusan ini, banyak sekali pekerjaan rumah perbaikan. Ada pekerjaan rumah melakukan perbaikan terhadap KPU, pekerjaan rumah perbaikan terhadap sistem rekapitulasi, ada perbaikan untuk Bawaslu," kata Zainal dalam forum Bedah Putusan MK Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2024 yang dipantau secara daring dari Jakarta, Selasa.
Selain itu, kata dia, juga ada amanat perbaikan untuk pengawasan terhadap presiden dalam penyelenggaraan pemilu. Hal ini perlu ada aturan untuk mengawasi presiden, baik dia sebagai petahana yang mencalonkan diri kembali dalam pemilu maupun tidak.
"Harusnya presiden itu dikencangkan aturannya, sayangnya kita tidak melakukan apa-apa di situ. Jadi, ada banyak pekerjaan rumah," kata dia.
Zainal juga menyebutkan adanya pekerjaan rumah dalam hukum acara PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2024 di MK. Dalam hal ini, dia menyoroti batasan waktu 14 hari kerja yang dinilai tidak ideal, khususnya untuk membuktikan dalil permohonan.
"Makanya, kenapa kemudian ketika pembuktian dipaksakan 1 hari, ini misalnya ya, dan semua harus diselesaikan 1 hari, dibatasi jumlah saksi, ahli, dan lain sebagainya, tidak semua dalil permohonan bisa dibuktikan," ujar Zainal.
Sebelumnya, Senin (22/4), MK menolak seluruh permohonan yang diajukan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Dalam konklusinya, Mahkamah menyimpulkan permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai Pemerintah dan DPR penting melakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pilkada, maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kampanye, baik berkaitan dengan pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana pemilu.
"Demikian halnya, jika ada pengaturan yang saling berkelindan sehingga menimbulkan ambiguitas, hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang perlu dilakukan penyempurnaan oleh pembentuk undang-undang," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2024 di Gedung I MK RI, Jakarta, Senin (22/4).
Selain itu, MK juga mengatakan tidak menemukan landasan hukum untuk dilakukan tindakan terkait dengan ketidaknetralan presiden. Oleh sebab itu, MK menegaskan perlunya perubahan paradigma mengenai netralitas kekuasaan eksekutif demi mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
"Tentunya perubahan paradigma demikian harus dilakukan melalui perubahan atas undang-undang mengenai kepemiluan," kata Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.