Senin 22 Apr 2024 22:00 WIB

DKPP Diminta Memutus demi Keadaban Publik Terkait Dugaan Asusila Ketua KPU

Ketua KPU sudah dua kali dilaporkan terkait dugaan asusila.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Ketua KPU Hasyim Asyari.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua KPU Hasyim Asyari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diminta memutuskan yang terbaik bagi keadaban publik dalam hal penanganan aduan dugaan tindakan asusila Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Hasyim Asy’ari. Aduan asusila sebelumnya dinilai tak memberikan efek jera kepada yang bersangkutan.

“Dalam kasus aduan asusila yang kedua setelah Wanita Emas, tentu putusan pertama boleh jadi tidak memberikan efek jera pada Ketua KPU RI. Bisa jadi pada sidang kedua dinyatakan melanggar kembali akan dijatuhkan sanksi terakhir, yakni pemberhentian tetap,” ucap Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita kepada Republika, Senin (22/4/2024).

Baca Juga

Dia menjelaskan, Pasal 22 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Penyelenggara Pemilu mengatur beberapa sanksi. Sanksi-sanksi itu, di antaranya teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap. Dalam hal ini, peringatan keras termasuk ke dalam kategori peringatan tertulis.

Menurut Nurlia, secara spesifik dalam peraturan DKPP tidak dimaknai apa yang dimaksud dengan peringatan keras dan berapa kali penyelenggara dapat dijatuhkan sanksi peringatan keras. Sebab, kata dia, publik sudah mengetahui dalam putusan kasus serupa sebelumnya Ketua KPU telah mendapatkan peringatan keras yang kedua kalinya.

“Maka, ini menjadi sinyal kepada Ketua KPU dan penyelenggara pemilu untuk lebih menjaga etika bukan hanya dalam menjalankan tugas saja, tapi dalam merumuskan kebijakan harus lebih responsif dan progresif,” kata dia.

Dia menyampaikan, sebagai evaluasi, seharusnya penyelenggara yang mendapatkan sanksi etik mendapatkan ‘pembinaan’ atau ‘orientasi lagi’, Tapi, karena ini levelnya pusat, maka adanya ‘ruang kosong’. Karena seharusnya, kata dia, level pusat itu menjadi teladan bagi penyelenggara di daerah.  

Sebab itu pula dia melihat hal tersebut dapat menjadi evaluasi dalam membangun sistem penyelenggaraan pemilu, yang jika disadari masih memiliki ruang kosong. Di satu sisi, kata dia, jika penyelenggara daerah melanggar etik, itu akan mendapatkan pembinaan dari penyelenggara level di atasnya.

“Sekarang kalau penyelenggara yang paling atas melanggar etik, siapa yang akan membina? DKPP sebagai Lembaga tertinggi yang menangani hal tersebut harus mampu memutuskan yang terbaik bagi keadaban publik,” jelas dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement