REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati menilai, dunia intelijen membuka ruang yang luas bagi perempuan,. Sehingga menjadikan intel perempuan lebih menarik dibandingkan intel laki-laki, meskipun jumlah intel laki-laki lebih banyak.
"Intelijen dianggap ranah maskulin. Namun di sisi lain sebenarnya ada Mata Hari, seorang intelijen perempuan," kata Susaningtyas dalam webinar bertajuk 'Perempuan dan Studi Intelijen' di Jakarta, Kamis (18/4/2024).
Baca: Pakar Sebut Jadi Intel Harus Bisa Tahan Diri tidak Terkenal
"Mengapa Mata Hari begitu mempesona sebagai sosok intelijen perempuan? Di situ ada romantisme, kepandaiannya membuat semua orang terpesona kepada Mata Hari, sampai ada yang beberapa kali ingin membuat film tentang Mata Hari, tetapi gagal," ucap Susaningtyas.
Menurut Susaningtyas, keilmuan soal intelijen telah ada sejak zaman Romawi, Perang Dunia I, dan Perang Dunia II. Tetapi di Indonesia, keilmuan mengenai intelijen baru tercatat berkembang sekitar tahun 1990-an.
Intelijen merupakan ilmu yang dibutuhkan dalam menentukan arah dalam rumusan manajemen sebagai landasan penyusunan program rencana dan rencana aksi. "Produk intelijen itu adalah anatomi dan perkiraan yang dalam terkait manajemen strategis," kata Susaningtyas.
Baca: Menhan Prabowo Ditelepon Presiden Korsel Yoon Suk Yeol, Ada Apa?
Dia mengatakan, sebenarnya siapa pun bisa menjadi intel jika memiliki bakat. "Makanya penting sekali dalam rekrutmen itu penentuan bakat," kata mantan Sekretaris Panja UU Intelijen tersebut.
Menurut Susaningtyas, akan sulit bagi seseorang untuk menjadi intel meskipun telah bersekolah intel yang tinggi, jika tidak memiliki bakat. "Kalau rekrutmen intel, gampang. Kasih saja (calon) intel, bunga mawar. Kalau dia menyebut mawar warnanya merah, tangkai, dan daunnya hijau. Jangan diterima walaupun IQ-nya tinggi," ujarnya.
"Jika dia meskipun (IQ) biasa-biasa, menyebutkan (di dalam mawar) ada serbuk, mengapa serbuknya berwarna kuning, mengapa ada mawar yang warnanya hijau, merah. Di situlah kita lihat dia rasa keingintahuannya tinggi," kata Susaningtyas melanjutkan.
Baca: Mengenal Editha Praditya, Peraih Gelar Doktor Bidang Intelijen Pertahanan
Bagi dia, keingintahuan tinggi merupakan modal bagi intel dalam melaksanakan tugas. Pasalnya, jika seorang intel tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, dia akan menjadi intel yang pemalas.
"Orang yang tidak punya kepo yang tinggi, yakin jika dia menjadi intel, malas-malasan. Padahal intel dalam analisanya kadang tidak pernah berhenti. Karena setiap analisa yang dibuat, akan ada analisa lanjutan, tergantung temuan saat itu," kata dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) dan Universitas Pertahanan (Unhan) tersebut.