REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar
Saat proses rekapitulasi suara nasional Pemilu 2024 yang dijadwalkan hingga 20 Maret 2024, masih berlangsung di Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Kamis (29/2/2024), Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pemohon terkait dengan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) minimal 4 persen dari suara sah secara nasional.
Terkait dengan putusan MK saat rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2024 tengah berlangsung di tingkat kabupaten/kota, sontak publik pun ada yang beranggapan semua partai politik peserta Pemilu Anggota DPR RI bakal lolos ke Senayan (Gedung MPR/DPR/DPD RI), asalkan meraih suara terbanyak di daerah pemilihan (dapil), meski tak capai parliamentary threshold.
Namun, sebelum spekulasi berlanjut terkait dengan putusan MK yang akan meloloskan partai tertentu ke Senayan, alangkah baiknya membaca Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 secara saksama. Dalam putusan MK itu ditegaskan bahwa ambang batas parlemen 4 persen pada Pemilu 2024 tetap konstitusional. Dengan demikian, hanya peserta pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional yang diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
Partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak mencapai parliamentary threshold tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di setiap dapil, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 415 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Juru bicara MK, Enny Nurbaningsih menegaskan, MK memutuskan kebijakan baru mengenai ambang batas parlemen diterapkan di Pemilu berikutnya. Sebab, angka PT akan terlebih dahulu akan ditentukan besarannya oleh pembentuk undang-undang. Dengan begitu, revisi ambang batas parlemen 4 persen ditargetkan tuntas sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029.
"Untuk Pemilu 2029 dan seterusnya sudah harus digunakan threshold dengan besaran persentase yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut," ujar Enny kepada wartawan, Jumat (1/3/2024).
MK pun membantah menghapus ketentuan parliamentary threshold sebagaimana termuat di Undang-Undang tentang Pemilu. MK menyadari ambang batas parlemen masih diperlukan melalui kajian yang menyeluruh.
"Putusan 116 tidak meniadakan threshold sebagimana dapat dibaca dari amar putusan," kata Enny.
MK memutuskan besaran ambang batas parlemen ditentukan sendiri oleh pembentuk undang-undang yang terdiri dari DPR RI dan Pemerintah. Enny mengingatkan agar penentuan besarannya didasarkan pada kajian.
"Bahwa threshlod dan besaran angka persentasenya diserahkan ke pembentuk undang-undang untuk menentukan threshold yang rasional dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif," ujar Enny.
MK berharap putusan soal penentuan ambang batas parlemen dapat mengurangi disproporsionalitas yang semakin tinggi. Kondisi tersebutlah yang dalam pantauan MK justru menyebabkan banyak suara sah terbuang.
"Sehingga sistem proporsional yang digunakan tapi hasil pemilunya tidak proporsional," ucap Enny.