Kamis 22 Feb 2024 18:03 WIB

Ketidakpercayaan Terhadap MK Jadi Dasar Diusulkannya Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu

"Ketemu kecurangan pemilu, ngadu ke mana? MK ada pamannya, lalu ke mana?"

Sejumlah massa aksi melakukan unjuk rasa di depan gedung KPU, Jakarta, Jumat (16/2/2024). Dalam unjuk rasa tersebut massa aksi meminta KPU bersikap netral dan tidak melakukan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu.
Foto:

Profesor Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, ketidakpuasan atas pelaksanaan, maupun dugaan kecurangan dari hasil pemilu, sudah ada mekanisme konstitusionalnya. Yakni melalui gugatan pihak yang tak puas, ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Menurut Yusril yang juga bagian dari TKN Prabowo-Gibran, meskipun pengguliran angket tersebut merupakan salah satu hak  dari DPR, hak melakukan penyelidikan terkait gelaran pemilu itu ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak,” begitu kata Yusril dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Kamis (22/2/2024). 

Yusril menerangkan, hak angket DPR, memang hak yang sah mengacu pada Pasal 20A ayat (2) Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Dalam aturan tersebut, hak angket merupakan kewenangan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap jalannya pemerintahan.

Dalam hak angket tersebut memberikan kewenangan bagi DPR melakukan penyelidikan atas pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah. Dalam wacana hak angket kali ini, sejumlah anggota DPR mewacanakan menyelidiki kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

Pun Yusril menilai, wacana pengguliran hak angket tersebut muncul dari para anggota DPR dari fraksi-fraksi partai politik yang kalah dalam Pilpres 2024. Namun Yusril menjelaskan, UUD 1945 sudah memberikan jalan keluar secara konstitusional dalam penyelesaian hukum terkait dugaan kecurangan, maupun ketidakpuasan para pihak terkait pemilu. Yakni melalui mekanisme di MK.

“Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 dengan jelas menyatakan, bahwa salah-satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilu. Dalam hal ini, pilpres pada tingkat pertama, dan terakhir yang putusannya final dan mengikat,” kata Yusril.

Menurut Yusril, mekanisme melalui MK tersebut, sebetulnya solusi konstitusional yang lebih tepat atas ketidakpuasan para pihak peserta pemilu, ketimbang penggunaan hak angket. Sebab dengan rujukan Pasal 24C UUD 1945 itu dalam memberikan penyelesaian yang tuntas dan efektif secara hukum, ketimbang melalui jalan politik di DPR. Pun keputusan dari MK lebi memiliki kepastian hukum, ketimbang produk dari hak angket yang cuma berbentuk rekomendasi, atau pendapat. 

“Oleh karena itu saya berpendapat, UUD 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan. Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tegas Yusril.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement