REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah mengantisipasi membanjirnya misinformasi menjelang Pemilu. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel A Pangerapan menyatakan sangat penting kecepatan dalam menyampaikan informasi dari badan atau lembaga yang memiliki otoritas. Menurutnya, Indonesia bisa berkaca dari pengalaman pandemi Covid-19 di mana masyarakat mengetahui informasi dari media yang tidak kredibel sehingga menimbulkan persoalan di masyarakat.
"Fenomena misinformasi muncul karena informasi atau fakta dari badan otoritas yang punya kewenangan, terlambat menginformasikan kepada publik. Kekosongan itulah, orang dari yang dengarnya 10 persen dikembangkan menjadi 100 persen. Perlu juga kecepatan pada lembaga yang mempunyai otoritas terhadap isu tersebut untuk memberikan informasi," ujarnya dalam siaran pers Kominfo RI, Jumat (20/10/2023).
Menurut Dirjen Semuel, peran serta para peserta Pemilu sangat penting dalam membantu meminimalisir banjir disinformasi. Apalagi, peserta Pemilu memiliki basis pendukung yang setiap hari selalu dibanjiri beragam informasi.
"Harus ada integritas dari para pesertanya karena kalau tidak, pengikutnya akan lebih kacau. Untuk itu juga perlu yang namanya channel-channel resmi dari pada para peserta sebagai rujukan. Kalau ada persoalan, check and re-check-nya di situ," katanya.
Ia menilai hasil survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Google Indonesia dapat menjadi referensi penetapan program ataupun mengkaji ulang program yang sudah ada di Kementerian Kominfo.
"Saya sangat berterimakasih dengan hasil kajian ini. Mungkin kita bisa berkolaborasi lebih dalam lagi. Karena banyak sekali program terutama dalam pencegahan hoaks. Kita punya program literasi digital, jangan-jangan fokus literasi digital kita yang perlu diperbaiki atau ada program lain yang perlu diperbaiki," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes menegaskan, misinformasi sudah terjadi jelang Pemilu 2024. Data terjadinya misinformasi tersebut, setelah pihaknya melakukan observasi sederhana penyebaran pemberitaan tentang Pemilu 2024.
"Kita melakukan observasi sederhana, mendeteksi penyebaran misinformasi itu sudah di mulai. Meski, penyebaran misinformasi tersebut masih terbilang rendah, tapi sudah dimulai," kata Arya.
Kemudian, ia menyoroti, kasus misinformasi yang terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019. Misinformasi itu lebih banyak mengarah kepada Jokowi, bahkan sampai menciptakan polarisasi di masyarakat.
"Pemilu 2014 dan 2019, pemilu sebelumnya tren penyebaran informasi sangat tinggi, polarisasi di masyarakat juga tinggi. Ketika itu, pak Jokowi jadi sasaran misinformasi paling banyak," ujarnya.
Lanjutnya, ia juga menjelaskan, CSIS mendapatkan data soal misinformasi melalui mesin pencarian Google. Yakni, pada fitur Google Trends untuk mencari isu paling banyak dicari masyarakat. "Kami kemudian melihat seberapa besar isu itu melusuri Google Trends. Pencarian masyarakat Maret-Mei (2023) mengalami penurunan, Juni naik, karena isu pemilu di dorong dari manuver politik Presiden Jokowi," kata Arya.