Kamis 28 Sep 2023 11:13 WIB

Jika Pemimpin Sipil Keliru Gunakan Militer maka Rusak Demokrasi

Baik atau buruknya reformasi militer terganung pemimpin sipil kontrol militer.

Koalisi Masyarakat Sipil menyelenggarakan diskusi publik berjudul: Revisi UU TNI: Kembalinua Dwi Fungsi
Foto: istimewa/doc humas
Koalisi Masyarakat Sipil menyelenggarakan diskusi publik berjudul: Revisi UU TNI: Kembalinua Dwi Fungsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Centra Initiativ, Al Araf, mengatakan baik atau buruknya reformasi militer akan tergantung pada cara pemimpin sipil menggunakan kontrol terhadap militer. Jika pemimpin sipilnya keliru dalam menggunakan militer maka yang terjadi adalah rusaknya demokrasi.

Hal ini disampaikan Al Araf dalam diskusi publik berjudul: “Revisi UU TNI: Kembalinya Dwi Fungsi” Dalam kegiatan yang dilakukan di  Sadjoe Cafe and Ressto Jakarta Selatan ini, selain diskusi ada juga kegiatan Koalisi Masyarakat Sipil meluncurkan kertas kebijakan berjudul: “Mengawal Reformasi TNI Melalui Penolakan Usulan Perubahan dalam Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI”.

Menurut Al Araf, banyak negara yang bisa menjadi contoh buruk demokrasi yang kembali menjadi otoritarian, yaitu ketika militer terlalu dalam terlibat dalam urusan sipil. "Seperti yang terjadi di Thailand dimana negara dengan demokrasi muda bisa dikudeta oleh militer.,” kata Al Araf dalam siaran pers, Jumat (27/9/2023).

Diingatkannya, reformasi 1998 menegaskan tugas militer dalam negara demokrasi adalah alat negara dalam fungsi pertananan negara. Penempatan militer bukan pada tempatnya, kata dia, akan membuat militer menjadi tidak fokus pada urusan pertahanan.  Dan hal itu terjadi misalnya pada program food estate dan keterlibatan TNI dalam urusan sipil lainnya.

Jika revisi UU TNI dengan draft seperri sekarang  terus jalan, menurutnya, maka demokrasi akan terancam. "Sebaiknya kita fokuskan energinya untuk membangun tentata yang profesional yang modern yang selama ini masih luput dari agenda pemerintah khususnya menhan yang masih membeli alutsista bekas,” paparnya.

Pembicara dari BRIN,  Poltak Partogi Nainggolan, mengatakan secara global memang ada gelombang negara-negara transisi ke negara semi-otoriter. Di Indonesia gejala ini juga didorong oleh kultur politik sipil yang kontraproduktif terhadap kemajuan reformasi sektor keamanan.

Ia juga mengingatkan bahwa pada saat seperti inilah bahaya kembalinya otoriterisme militer sudah di depan mata. RUU TNI bermasalah secara substansial dan menjadi ancaman serius bagi demokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement