Setelah berhasil mendapatkan SPPT dan Surat Tidak Sengketa (STK), Didi langsung menemui Menteri Pertahanan (Menhan) kala itu Jenderal Edi Sudrajat untuk meminta rekomendasi atas tanah itu supaya bisa dijual. Surat rekomendasi itu menjadi syarat yang diminta oleh calon pembeli.
Pasalnya, calon pembeli tahu lahan tersebut sempat diklaim oleh Dephan, jika berpatokan pada Sertifikat Hak Pakai Nomor 1 Tahun 1992. Sementara fisik tanah tersebut dikuasai Mabes ABRI.
"Setelah saya menghadap Jenderal Edi Sudrajat saya diarahkan untuk menghadap kepada Direktur Jenderal Material Fasilitas Jasa Hankam RI yang pada waktu itu dijabat oleh Brigjen Imade Sadar dan mendapatkan jawaban tertulis menyatakan bahwa tanah tersebut sudah dibeli oleh Dephan dan tanah tersebut sudah bersertifikat," kata Didi.
"Untuk mendapatkan penjelasan secara kornologis tentang tanah yang saudara tanyakan, saya akan undang saudara bertemu dengan tim Mabes ABRI/Dephankam," kata H Didi menirukan perkataan Brigjen Imade kepada Republika.co.id.
Kurang lebih tiga pekan setelah bertemu Brigjen Imade, Didi dihubungi Kapten Jatmiko untuk menghadiri rapat di Dephan yang dipimpin oleh Brigjen Simbolon. Dari kesimpulan rapat tersebut, Didi disarankan untuk menempuh upaya hukum. Hal itu karena Dephan tetap yakin tanah itu milik mereka, bukan milik Didi.
Akhirnya setelah selesai mengikuti rapat, Didi mengajukan permohonan pembatalan dan pemblokiran sertifkat Nomor 1 Hak Pakai Tahun 1992 atas nama Ditjen Matpasjasa Hankam kepada BPN Bekasi. Karena memiliki bukti kuat, ia pun memenangkan gugatan di pengadilan.
"Dan alhmadulillah setelah diperiksa surat-surat asli bukti kepemilikan tanah tersebut, permohonan saya diteriman dan sertifikat Hak Pakai Hankam dinyatakan diblokir sesui surat 26 Desember 1994 dan bukti pemblokiran dari BPN Bekasi saya serahkan kepada Dephan, Mabes ABRI, lurah, dan camat pada tanggal 1 Februari tahun 1995 dan kepada camat,” katanya.
Selesai upaya permohonan pemblokiran yang dikabulkan BPN Bekasi atas sertifikat hak pakai Nomor 1 Tahun 1992 atas nama Hankam, pada 22 Agustus 1994, Didi menyebut, ia dipanggil oleh Kepala Staf Garnisun 1/Jakarta Brigjen M Yusuf Kartanegara. Yusuf yang merupakan eks Wantimpres era Jokowi ingin memeriksa surat asli Didi sebagai bukti kepemilikan atas tanah tersebut.
"Setelah selesai diperiksa saya mendapat saran petunjuk agar menghadap kepada Kasum TNI yang pada waktu itu dijabat oleh Letnan Jenderal HBL Mantiri. HBL Mantiri menyetujui tanah itu dijual oleh saya," kata Didi.
"Beliau bilang 'asal tentara jangan dirugikan 20 persen' dan saya disarankan koordinasi dengan Niko Syamsi sebagai Direktur PT Usama Rahayu yang mendapat surat tugas dari Korma Hankam Drs Brigjen Herman Saren Sudiro untuk membebaskan tanah dengan surat perintah Nomor 1525/XI/72/Kor tahun 1972," ucap Didi.
Setelah bertemu dengan Niko Syamsi, terjadi kesepatakan bahwa surat perintah pembebasan tanah tersebut diserahkan kepada Didi dengan kompensasi uang sebesar Rp 7 miliar. Uang sebesar itu baru bisa dibayarkan setelah tanah laku terjual. "Niko Syamsi mengatakan setuju," kata Didi.