Sabtu 16 Sep 2023 02:50 WIB

Pengamat: Kebijakan tak Wajib Skripsi Perlu Ditinjau Kembali

Ilmuwan top dunia, termasuk Indonesia, lahir dari kebiasaan menulis.

Para wisudawan menunggu prosesi penyerahan tanda kelulusan (ilustrasi).
Foto: Edi Yusuf/Republika
Para wisudawan menunggu prosesi penyerahan tanda kelulusan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat Pendidikan dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Prof Tans Feliks, menilai kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang tidak mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan perlu ditinjau kembali.

"Kebijakan tersebut perlu ditinjau kembali karena mengabaikan esensi pendidikan sebagai salah satu pilar utama menumbuhkembangkan budaya literasi dan numerasi tingkat tinggi yang sangat dibutuhkan manusia," kata Tans Feliks di Kupang.

Baca Juga

Prof Tans Feliks yang juga Direktur Pasca-Sarjana Undana Kupang tersebut mengatakan ilmuwan top dunia, termasuk Indonesia, lahir dari kebiasaan menulis, meneliti, dan publikasi, sehingga tidak mengharuskan penulisan skripsi/tesis/disertasi menurutnya salah.

Dia mengatakan jika kebijakan tidak mewajibkan skripsi digunakan, maka perlu memberikan perlakuan yang berbeda bagi mahasiswa yang menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dengan skripsi. "Misalnya mahasiswa yang mampu menulis skripsi diperkenankan untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 dan S3, sementara mahasiswa yang tidak menulis skripsi tidak diperkenankan mengenyam pendidikan di jenjang S2 dan S3," kata dia.

Dia mengatakan mahasiswa S2 dan S3 harus menulis tesis/disertasi karena merupakan calon ilmuwan. Menurut Prof Tans Feliks, yang tidak wajib adalah publikasi di jurnal internasional bereputasi.

"Sebuah artikel yang berisi atau bermanfaat boleh saja diterbitkan dimana saja, tidak harus di jurnal internasional bereputasi yang biaya publikasinya sangat mahal,” katanya.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement