Kamis 14 Sep 2023 19:05 WIB

Mutu Perguruan Tinggi Swasta, Antara Ada dan Tiada

PTS kecil dan tidak terkelola dengan baik menjadikan akreditasi sebagai ancaman.

Ilustrasi mahasiswa PTS.
Foto: Youtube
Ilustrasi mahasiswa PTS.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny Kodrat, Pemerhati Pendidikan Universitas Sebelas April

Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi membawa angin segar bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Bukan karena pada regulasi tersebut dimungkinkan mahasiswa memilih untuk tidak menulis skripsi, namun lebih jauh, terjadi perubahan paradigma pada sistem akreditasi perguruan tinggi.

Status akreditasi PT yang dahulu didasarkan pada peringkat seperti "Baik, Baik Sekali dan Unggul", sekarang hanya cukup dengan terakreditasi. Sementara, Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang sebelumnya berwenang menilai program studi, saat ini hanya menerima akreditasi bila program studi ingin mencapai unggul.

Dalam konteks PTS, rezim akreditasi sebelumnya, memaksa mereka merongoh dana lebih dalam akan diakreditasi oleh LAM. Itupun hasilnya belum tentu memuaskan. Hanya PTS besar dan mapan secara pengelolaan yang dapat memenuhi tuntutan rezim akreditasi ini. Sementara, PTS kecil dan tidak terkelola dengan baik, senantiasa menjadikan akreditasi sebagai ancaman.

Paradigma Mutu

Secara ringkas Edward Salis menjelaskan mutu sebagai standar yang ditujukan untuk memuaskan pelanggan (Salis, 1994). Dalam pendidikan, mahasiswa, orang tua, pemerintah, dunia usaha dan industri merupakan pelanggan luar (external customer) yang harus dipuaskan oleh layanan PT.

Dosen dan tenaga kependidikan merupakan pelanggan internal yang juga harus dikelola pimpinan PT. Keberadaan akreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT dan LAM, merupakan penjaminan mutu eksternal yang mewakili pemerintah dan masyarakat untuk memastikan PT memenuhi seluruh standar minimal yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Tentunya, untuk menyimpulkan sebuah PT memenuhi bahkan melampaui standar yang ditetapkan, dilakukan asesmen berdasarkan prinsip-prinsip asesmen seperti akuntabel, transparan, adil dan berintegritas.

Dalam konteks PTS, acapkali mutu dan akreditasi dipahami sekadar kumpulan dokumen administrasi untuk memperpanjang izin penyelenggaraan. Tren yang muncul, saat 12 bulan menjelang akreditasi berakhir, biasanya program studi melakukan inventaris dokumen-dokumen sebagai eviden.

Ada yang tinggal diadministrasikan, namun tidak sedikit yang dibuat, menyesuaikan instrumen/borang akreditasi. Tidak jarang kita mendengar terdapat alat-alat laboratorium yang disewa, dosen yang tiba-tiba muncul sebagai dosen homebase di laman PDDikti, dan eviden “aspal” lainnya untuk memenuhi kecukupan nilai akreditasi.

Paling berbahaya bila “jalur orang dalam” digunakan dengan atas nama “fast track”, sehingga isian instrumen akreditasi diisi tidak sesuai kenyataan. Performa program studi hingga saat visitasi meningkat, namun saat proses penilaian berakhir, nilai akreditasi muncul, kesadaran program studi terhadap mutu menurun.

Nilai akreditasi hanya tertulis di atas kertas sertifikat BAN-PT/LAM, tidak terwujud secara nyata di lapangan. Tentunya, mahasiswa, dan masyarakat menjadi pihak yang sangat dirugikan. Mutu yang seharusnya tercermin dari layanan seluruh kegiatan PTS yang terkelola dengan baik, by design, diperkuat oleh support system sama sekali tidak terasa oleh mahasiswa.

Disayangkan bila sebuah PTS vokasi seperti teknik yang seharusnya lebih banyak praktik, disebabkan laboratorium tidak lengkap, tidak tersedia laboran tersertifikasi, bahkan dosen tidak memenuhi kualifikasi, prodi teknik berubah menjadi “sastra”, hanya kajian teori. Malapraktek pengelolaan terjadi.

Mutu sejatinya kebutuhan bagi PTS dan mahasiswa. Secara alami, PTS yang mampu mengubah mahasiswa dari tidak memiliki kompetensi, menjadi lulusan handal, terserap cepat di dunia usaha dan industri, akan menjadi PTS yang dicari masyarakat. Karena itu, PTS unggul merepresentasikan hadirnya budaya mutu dalam institusi tersebut.

Disparitas mutu di antara PTS yang terlalu besar, terlebih dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), seharusnya mendapat perhatian khusus dari stakeholders pendidikan dan pemerintah agar ia mampu mengurangi kesenjangan mutu dengan PTN. Target menjadi universitas kelas dunia (world class university) tidak banyak bergaung di PTS.

Tidak hanya itu, PTS dengan akreditasi unggul pun masih terbilang sedikit. Berbeda dengan PTN, yang tidak sedikit program studinya terakreditasi dari lembaga internasional.

Jumlah PTS pada 2022 sebanyak 2.982 unit atau setara dengan 95,97 persen dari total PT. Sisanya adalah PTN yang hanya 125 unit.

Bisa dibayangkan, bila PTS ini tidak memiliki visi menjadi universitas kelas dunia, global, bahkan mengabaikan mutu, dan hanya menjadikan tatap muka perkuliahan sebagai suatu bussiness as usual dalam dunia pendidikan, kompetensi lulusan yang diharapkan jauh panggang dari api. Sulit memiliki daya saing. PTS tidak ubahnya seperti Balai Latihan Kerja (BLK), kursus, yang memfokuskan pada darma pendidikan dan pengajaran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement