Senin 11 Sep 2023 14:35 WIB

Asa Partai Bulan Bintang Kembali ke Senayan Vs Realitas Survei Partai Islam

Sudah tiga periode tidak ada wakil PBB di kursi DPR RI.

Ketua KPU Hasyim Asyari (kanan) bersama Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra (kiri) saat penyerahan berkas pendaftaran bakal calon legislatif di Kantor KPU, Jakarta, Sabtu (13/5/2023).
Foto:

Sayangnya harapan PBB untuk kembali masuk ke Senayan akan sulit merujuk pada survei LSI Denny JA yang dirilis pada Maret 2023. Saat itu, LSI Denny JA menemukan tidak ada partai-partai Islam atau berbasis Islam yang menduduki tiga besar dalam elektabilitas.

Peneliti LSI Denny JA, Ade Mulyana mengatakan, kalau ditarik sebelum kemerdekaan partai Islam menjadi ujung tombak perlawanan melawan penjajah. Dengan penduduk mayoritas muslim, secara psikologis kelahiran partai Islam jadi keniscayaan.

Sebab, mereka yang beragama Islam akan lebih nyaman kalau partai memiliki ideologi yang sama. Sayangnya, sejak pemilu demokratis pada 1955-2019, sudah banyak partai-partai Islam hadir, tapi belum mendapat dukungan terlalu baik.

"Sejak Pemilu (tahun) '55, belum pernah ada satupun partai Islam yang memenangi pemilu di Indonesia," kata Ade, Jumat (17/3/2023).

Survei LSI Denny JA melibatkan 1.200 responden pada 4-15 Januari 2023. Dengan penentuan partai Islam atau partai nasionalis didasari persepsi publik terhadap pendiri partai maupun partai tersebut maupun ditentukan melalui pendapat pakar.

Partai Islam terdiri dari PKS, PKB, PPP, PAN, PBB, Gelora dan Partai Ummat dengan total dukungan 38,9 persen. Sedangkan, partai nasionalis ada PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem, Perindo, PSI, Hanura, Garuda, Buruh dan PKN.

Dari tiga partai papan atas, PDIP 22,7, Golkar 13,8 dan Gerindra 11,2 tidak ada satupun partai Islam. Papan tengah, PKB, Demokrat, PKS, Nasdem, ada PKB 8,0 dan PKS 4,9. Sedangkan, papan bawah, Perindo, PPP, PAN, ada PPP 2,1 dan PAN 1,9 persen.

Ada pula partai Islam yang masuk partai nol koma seperti PBB 0,3, Ummat 0,3 dan  Gelora 0,1. Jadi, ia mengingatkan, sampai tingkat partai-partai gurem sekalipun partai-partai Islam masih kalah dari partai terbuka maupun partai nasionalis.

"Partai berbasis Islam total dukungan cuma 17,6, tapi nasionalis mencapai 61,0 persen. Dalam Pemilu 2024, kami prediksi total dukungan atas partai berbasis Islam potensial yang terkecil dalam sejarah pemilu bebas Indonesia, 1955-2019," ujar Ade.

Ade Mulyana mengatakan, penyebab pertama terus tergerusnya raihan suara partai-partai Islam sudah terjadi ketika dilakukan depolitisasi Islam pada era Orde Baru selama 20 tahun atau 1978-1998. Berlaku secara masif dan keras pemaksaan asas tunggal Pancasila.

"Pada 1985 melalui UU Partai Politik dan UU Keormasan," kata Ade, Jumat (17/3/2023).

Saat itu, berlaku secara masif dan keras pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ditetapkan lewat Tap MPR 1978. Akibatnya, pesona partai Islam menyusut drastis dari 43 persen masa awal, terus merosot di bawah 40 persen.

Penyebab lainnya, absennya capres berlatar belakang santri yang kuat. Padahal, capres yang kuat dapat menarik dukungan pula kepada partai-partai mereka nantinya.

"Bahkan, Amien Rais di 2004 tersisih di putaran pertama," ujar Ade.

Selain itu, ia mengingatkan, hampir tidak ada inovasi-inovasi yang segar dari partai-partai islam yang mampu menambah dukungan dan pesona sejak reformasi. Sebenarnya, kondisi serupa dialami partai terbuka dan partai nasionalis.

"Tetapi, mereka memiliki capres yang kuat untuk mengangkat partai," kata Ade.

photo
Empat Tantangan Partai Islam - (infografis republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement