Kamis 24 Aug 2023 17:36 WIB

Menko PMK Minta Sekolah tak Digunakan untuk Kampanye

Muhadjir mengingatkan sekolah dan siswa harus mengejar ketertinggalan akibat pandemi.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus raharjo
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy dan Juru Bicawa Wakil Presiden, Masduku Baidlowi di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy dan Juru Bicawa Wakil Presiden, Masduku Baidlowi di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (18/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, meminta agar sekolah tidak digunakan sebagai tempat berkampanye. Menurutnya, sekolah masih memiliki sejumlah pekerjaan untuk mengejar ketertinggalan pembelajaran akibat learning loss yang terjadi saat pandemi Covid-19 beberapa tahun terakhir.

“Saya imbau sebaiknya sekolah-sekolah maupun madrasah tidak usahlah dipakai tempat untuk berkampanye. Biarlah mereka guru-guru juga fokus mengantar peserta didiknya untuk menebus ketertinggalan akibat learning loss kemarin saat Covid-19,” ujar Muhadjir di Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (24/8/2023).

Baca Juga

Muhadjir mengatakan, saat ini, kegiatan pembelajaran di sekolah belum pulih dari Covid-19. Pembelajaran di masa pandemi Covid-19, kata dia, mengalami anomali. Ketertinggalan pembelajaran akibat learning loss yang terjadi selama dua tahun terakhir harus dikejar oleh sekolah-sekolah.

“Selama dua tahun yang kemarin proses pembelajarannya mengalami anomali itu harus ditebus sekarang ini,” kata Muhadjir.

Menurut dia, pemulihan pendidikan berbeda dengan pemulihan ekonomi yang relatif mudah untuk diukur dan dilihat targetnya. Sebab itu, dia tak ingin sekolah-sekolah yang masih memiliki tugas untuk mengejar ketertinggalan tersebut dibuat sulit oleh kampanye-kampanye yang hendak dilakukan di sana.

Selain itu, Muhadjir juga menjelaskan, di sekolah memang ada pemilih pemula. Tapi, jumlah pemilih pemula di sekolah hanya sedikit jika dibandingkan anak-anak yang belum memiliki hak pilih. Sebab itu, menurut dia, tak perlu repot-repot untuk datang atau mengundang kampanye untuk dilakukan di sekolah.

“Di situ memang ada pemilih pemula, tapi kan jumlahnya lebih banyak yang tidak jadi pemilih daripada yang jadi pemilih pemula. Ngapain repot-repot harus datang, diundang. Kan mereka juga nggak milih kok,” kata dia.

Di sisi lain, Muhadjir tak mempersoalkan diperbolehkannya kampanye dilakukan di kampus. Selain karena semua yang berada di kampus sudah mempunyai hak pilih, tingkat kesadaran atas perbedaan di kampus juga sudah cukup tinggi ketimbang sekolah. Hanya saja, kondusivitas pelaksanaannya harus betul-betul dijaga.

“Perguruan tinggi silakan karena konstituennya di situ. Rata-rata sudah, semuanyalah sudah punya hak pilih. Silakan di kampus itu. Tapi tadi itu dengan ketentuan-ketentuan yang betul-betul terukur. Jangan sampai menimbulkan kondisi yang tidak baik di kampus-kampus itu,” jelas Muhadjir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement