Selasa 22 Aug 2023 08:45 WIB

Syarat Capres Digugat ke MK, Penggugat Minta MK Larang Pelanggar HAM Jadi Capres

Prabowo saat ini berusia 71 tahun dan kerap diserang dengan isu pelanggaran HAM.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Sidang gugatan pilpres di MK (ilustrasi).
Foto: Dok Republika.co.id
Sidang gugatan pilpres di MK (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga warga negara memberikan kuasa kepada 98 advokat untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal yang mengatur syarat menjadi calon presiden (capres). Mereka meminta MK melarang pelanggar HAM menjadi capres dan menetapkan batas usia maksimum kandidat adalah 70 tahun.

Terkait larangan bagi pelanggar HAM, mereka mengajukan uji materi atas Pasal 169 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut mengatur bahwa seorang capres harus "tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya".

Baca Juga

Mereka meminta MK mengubah bunyi pasal tersebut menjadi: "tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya".

Dalam alasan permohonannya, mereka menyinggung keputusan Presiden Joko Widodo mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Salah satunya adalah kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Tahun 1997-1998. Kasus-kasus tersebut, menurut mereka, masuk kategori pidana berat.

Menurut mereka, Pasal 169 huruf d memang melarang pelaku tindak pidana berat menjadi capres, tapi bunyi pasal tersebut menimbulkan kekaburan norma. Sebab, larangan tersebut sama bunyinya dengan bunyi Pasal 7A UUD 1945. Padahal, muatan undang-undang harus berisikan pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan dalam UUD 1945.

Terkait batas usia maksimum, mereka menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut hanya mengatur syarat usia minimum 40 tahun untuk menjadi capres.

Dalam petitumnya, mereka meminta MK mengubah bunyi pasal tersebut sehingga seseorang hanya bisa menjadi capres apabila "berusia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 70 tahun pada proses pemilihan".

Mereka beralasan, batas usia maksimum diperlukan karena presiden haruslah sosok yang punya kesehatan jasmani dan rohani. Sebab, seorang presiden harus bisa bekerja dengan mobilitas tinggi untuk mewujudkan Indonesia maju.

"Dengan melihat luasnya wilayah negara Indonesia diperlukan mobilitas yang sangat tinggi untuk dapat menjadikan Indonesia sebagai negara maju," kata mereka dalam berkas permohonan yang diunggah di laman resmi MK, dikutip Selasa (22/8/2023).

Mereka juga menilai pasal batas usia yang berlaku sekarang memberikan ketidakpastian hukum karena hanya mengatur batas umur minimum capres. Mereka membandingkan ketentuan batas usia maksimum capres dengan usia pensiun hakim konstitusi dan hakim agung, yakni 70 tahun.

Gugatan uji materi lewat 99 advokat ini belum diregistrasi di MK. Gugatan mereka baru dicatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) per 18 Agustus 2023 dengan nomor 101/PUU/PAN.MK/AP3/08/2023

Pemohon dalam perkara ini adalah warga Jakarta Timur bernama Rio Saputro, warga Bekasi bernama Wiwit Ariyanto, dan warga Bogor atas nama Rahayu Fatika Sari.

Sebagai catatan, dari tiga sosok yang digadang-gadang bakal menjadi capres Pilpres 2024, isu pelanggaran HAM kerap disematkan kepada Prabowo Subianto. Isu tersebut mulai deras menyerang Prabowo sejak dia menjadi rival PDIP pada Pilpres 2014.

Prabowo, sosok yang kini berusia 71 tahun, selalu dikaitkan dengan kasus penculikan aktivis prodemokrasi yang dilakukan Tim Mawar Kopassus pada 1997-1998. Ketika itu, Prabowo menjabat sebagai Danjen Kopassus TNI AD.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement