REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) khawatir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan kampanye dilakukan di fasilitas pendidikan dapat membahayakan kepentingan siswa, guru, dan orang tua. Siswa, guru, dan warga sekolah akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat.
“Siswa, guru, dan warga sekolah akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat. Ini bukan pendidikan politik melainkan mobilisasi politik yang akan berdampak buruk,” ujar Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, lewat keterangannya, Senin (21/8/2023).
Menurut Iman, aktivitas pedagogi akan didistorsi menjadi aktivitas saling berebut politik kekuasaan. Di samping itu, saat sekolah jadi ruang kampanye Pemilu, maka kondisi tersebut juga membuat rentan terjadinya bullying atau perundungan di sekolah.
“Sebagai contoh, siswa yang pilihan politiknya berbeda dari pilihan mayoritas murid lain, rentan akan dirundung oleh teman-temannya, apalagi jika materi kampanye kandidat atau parpol sudah mengarah pada isu politik identitas," kata Iman.
Dia menjelaskan, hal tersebut juga akan menjadi beban baru siswa, guru, dan orang tua dalam praktik pembelajaran di sekolah. Kegiatan sekolah akan bertambah seperti sosialisasi Pemilu atau sosialisasi kandidat dan pastinya akan menjadi beban psikologi bagi anak termasuk guru.
"Bayangkan ada Pemilu dan Pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan ortu akan membawa politik partisan ke ruang ruang belajar," kata dia.
P2G juga memperhatikan penjelasan ‘sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat’. Iman melihat penjelasan tersebut sangat bermasalah. Dia memberikan contoh ketika penggunaan gedung sekolah untuk kampanye Pemilu, kepala sekolah akan sulit menolak apalagi diperintahkan secara struktural dari Pemda dan dinas pendidikan.
“Apalagi jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah punya preferensi politik tertentu,” jelas dia.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan P2G, Feriansyah, menyebutkan, di lingkungan pendidikan yang dibutuhkan adalah edukasi politik. Bukan justru menggunakan fasilitas pendidikan hanya pada saat Pemilu saja.
“Pendidikan politik itu bagus. Tapi bukan malah menggunakan fasilitas pendidikan hanya pada saat Pemilu saja. Apalagi yang perlu ditekankan dalam edukasi politik adalah netralitas ASN dalam Pemilu dan kampanye,” jelas dia.
Guru dan Dosen Terbanyak Langgar Netralitas
Sebagai pengingat, Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negera (KASN) Arie Budhiman pernah menyebutkan, berdasarkan hasil pengawasan KASN periode 2020-2023, sebanyak 70 persen dari ASN dengan jabatan fungsional yang melanggar netralitas berprofesi sebagai tenaga pendidik. Ada sejumlah faktor yang mendorong guru dan dosen melakukan pelanggaran netralitas tersebut.
“Pertama, faktor ikatan persaudaraan antara guru dan dosen dengan calon peserta pemilu dan pemilihan. Kedua, adanya kepentingan pragmatis pada sebagian kalangan guru untuk berpindah ke jabatan struktural tertentu,” ujar Arie dikutip dari laman KASN, Selasa (1/8/2023).
Sementara, di kalangan dosen, kata dia, ada keinginan untuk mendapatkan posisi pada struktural kampus atau jabatan lain yang tersedia di luar kampus, baik pada struktur pemerintahan maupun swasta. Menurut dia, para dosen sepatutnya menjadikan keahlian yang dimiliki untuk menjadi sumber substansi gagasan dan pijakan kajian bagi para politisi.
“Sehingga siapa pun yang menang, substansi gagasan akan diterjemahkan menjadi kebijakan publik. Karena itu, dosen tidak perlu menjadi tim sukses politisi tertentu. Para tenaga pendidik, baik guru atau dosen, tidak dibenarkan menjadi bagian dari dewan pakar atau tim pemenangan peserta pemilu dan pemilihan," kata dia.
Secara lengkap, berdasarkan hasil pengawasan KASN periode 2020-2023, sebanyak 1.596 ASN terbukti melanggar dengan 533 ASN atau 26,5 persen, di antaranya adalah ASN dengan jabatan fungsional. Dari total 533 ASN pelanggar pada jabatan fungsional, sejumlah 373 ASN atau 70 persen di antaranya berprofesi sebagai tenaga pendidik, yang terdiri atas dosen dan guru.
Adapun jenis pelanggaran yang banyak dilakukan adalah kampanye atau sosialisasi media sosial melalui unggahan, komenter, membagikan, atau menyukai sebesar 34,9 persen; mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan sebesar 27,8 persen; foto bersama bakal calon atau pasangan calon 14,5 persen; dan menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai, atribut PNS, atau tanpa atribut 4,5 persen.