REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) Gielbran Muhammad Noor mengomentari soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Menurut dia, putusan tersebut memberikan dampak positif sekaligus dampak negatif bagi iklim demokrasi.
"Pertama, diperbolehkannya kampanye di fasilitas pemerintahan akan mengakibatkan adanya ketidaksetaraan dalam kontestasi pemilu," kata Gielbran kepada Republika.co.id, Jumat (18/8/2023).
Menurut Gielbran, kontestan pemilu yang memiliki akses terhadap fasilitas pemerintahan akan lebih dipermudah untuk menggalang suara elektoral dibandingkan dengan kontestan pemilu yang tidak memiliki akses ke fasilitas pemerintahan. Selain itu, akan timbul ketidaknetralan pemerintah ketika fasilitasnya diperbolehkan untuk kampanye meskipun tanpa atribut.
"Selain itu, akan timbul kekhawatiran akan disalahgunakannya fasilitas pemerintahan oleh oknum partai tertentu dalam mengeruk suara elektoral terkhusus partai yang berkuasa dalam pemerintahan tersebut," ujarnya.
Terkait putusan MK yang memperbolehkan kampanye di kampus tanpa atribut, menurutnya hal tersebut dapat memberikan edukasi politik kepada mahasiswa secara lebih konkret. Selain itu, menurut Gielbran kampanye di institusi pendidikan diharapkan dapat memberikan corak intelektual dalam berkampanye, tak hanya sekadar kampanye kosong tanpa gagasan atau bahkan politik uang.
Kampanye di institusi pendidikan juga bisa menjadi langkah awal untuk semakin meningkatkan literasi politik masyarakat. "Namun, meskipun diperbolehkan, tetap harus ada batasan-batasan berkampanye di institusi pendidikan agar institusi pendidikan tersebut tetap dapat netral dan tidak disalahgunakan," ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi yang diajukan dua warga negara, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, karena menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah.
Sedangkan, dalam bagian Penjelasan beleid itu terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut. "Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan," demikian bunyi bagian Penjelasan itu.