REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Forum Rektor Indonesia, Mohammad Nasih, menyatakan, kampus tidak akan proaktif dan tidak akan menginisiasi adanya penyelenggaraan kampanye di kampus. Dia mengatakan, kampus hanya akan bersifat pasif dan memfasilitasi tempat jika diminta oleh lembaga penyelenggara pemilu.
"Kampus tidak akan proaktif dan tidak akan menginisiasi adanya penyelenggaraan kampanye di kampus," ujar Nasih kepada Republika.co.id, Jumat (18/8/2023).
Dia menjelaskan, kampus hanya bersifat pasif terkait hal tersebut. Menurut dia, kampus hanya akan memfasilitasi tempat apabila dalam proses pemilu diminta untuk menyediakan tempat oleh lembaga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada prinsipnya, kata dia, kampus akan siap jika mendapatkan penugasan dari KPU.
"Kampus tidak akan proaktif dan tidak akan menginisiasi adanya penyelenggaraan kampanye di kampus," tegas Nasih.
Terkait dengan mengganggu atau tidaknya kampanye yang dilakukan di kampus terhadap proses belajar-mengajar, dia menerangkan, pada umumnya kampus memiliki lahan yang luas. Selain itu, ada banyak fasilitas-fasilitas yang tersedia di kampus yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut.
"Ya, pada umumnya, kampus kan cukup luas dan banyak fasilitas yang dapat digunakan. Ada GOR, ada auditorium, ada lapangan bola, dan lain-lain," kata dia.
Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi yang diajukan dua warga negara, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, karena menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah.
Sedangkan, dalam bagian Penjelasan beleid itu terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut. “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan," demikian bunyi bagian penjelasan itu.
MK dalam amar putusannya menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa "tempat ibadah".
"Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, '(peserta pemilu dilarang) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," demikian bunyi putusan MK itu.